Meskipun baru sekedar imbauan dan ajakan, tapi pernyataan Presiden Jokowi agar setiap Pemda proaktif membangun transportasi publik massal yang dapat diandalkan bak oase di tengah gurun. Apalagi, pernyataan itu disampaikan orang nomor wahid di Republik ini. Tentu bukan tanpa alasan Pak Jokowi melemparkan gagasan ini. Meski saya yakin beliau tidak akan pernah merasakan berdesakan di transportasi publik massal, tapi Pak Jokowi meyakini bahwa sudah saatnya perkara transportasi publik ini diberi perhatian lebih serius, tidak hanya menjadi domain pemerintah pusat.
Secara khusus, Presiden menyebut ART (Autonomous Rail Rapid Transit), kereta nirawak yang diklaim mampu mengangkut kurang lebih 300 orang sekaligus sebagai salah satu pilihan yang layak dilirik. Selain ramah lingkungan, biaya pengadaannya pun jauh lebih murah dibandingkan dengan MRT ataupun LRT. ART diyakini bisa menjadi moda transportasi publik yang terjangkau dan efisien, serta sejalan dengan semangat pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
 Anomali yang terjadi di Indonesia, meskipun potensi jumlah penggunanya diyakini akan banyak, tapi transportasi publik belum menjadi pilihan untuk bermobilisasi. Mungkin hanya di Jakarta yang transportasi publiknya sudah terintegrasi satu sama lain, dan penduduknya tidak punya pilihan karena jarak tempuh yang jauh dan kemacetan yang tanpa ampun, transportasi publik massal menjadi pilihan paling rasional untuk berpindah-pindah tempat. Di kota-kota besar lain, kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor masih menjadi andalan. Selain lebih mudah, kendaraan pribadi juga lebih cepat sampai ke tujuan.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah daerah, bagaimana agar animo masyarakat dalam menggunakan transportasi publik meningkat. Tidak hanya dengan kata-kata mutiara bahwa menggunakan transportasi publik berarti kita ikut berpartisipasi mengurangi kemacetan dan berkontribusi pada lingkungan, tapi pemerintah harus proaktif menyediakan transportasi publik yang andal dan terintegrasi. Termasuk menyiapkan informasi yang mudah diakses dan komprehensif.
Jika serius, pemerintah pusat dapat menggandeng pemerintah daerah yang siap menjadi proyek percontohan. Kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, misalnya, bisa dijadikan kota percontohan untuk mengembangkan transportasi publik massal yang terintegrasi.
Skema pembiayaan 50-50 APBN dan APBD bisa menjadi opsi, selain mengundang investor dari dalam dan luar negeri yang tertarik untuk menanamkan modalnya, atau menggandeng BUMN di bidang transportasi seperti Damri dan KAI berpartisipasi dalam proyek ini.
Selain pembiayaan, tantangan lain yang dihadapi oleh pemerintah jika nantinya akan menjadikan ART sebagai moda transportasi tulang punggung di perkotaan adalah merubah pola perilaku masyarakat yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi.
Mungkin dengan promosi dan tawaran-tawaran menarik seperti diskon harga tarif, sampai dengan menerbitkan aturan yang lebih tegas, misalnya penerapan ganjil-genap kendaraan pribadi atau melarang penggunaan kendaraan pribadi, secara khusus sepeda motor misalnya, di beberapa wilayah di perkotaan. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk perlahan-lahan merubah perilaku yang sudah kadung terbiasa instan.
Selain itu, pemerintah juga bisa menyasar para pelajar, dengan mewajibkan para pelajar tersebut menggunakan moda transportasi umum massal untuk pergi ke sekolah. Generasi masa depan ini nantinya diharapkan terbiasa menggunakan transportasi publik di masa mendatang. Â
ART tidak akan mampu menjadi Superman, menjadi solusi pamungkas mengatasi kemacetan di perkotaan jika tidak didukung oleh moda transportasi pendukungnya yang saling terhubung. Buat apa naik ART kalau untuk mencapai haltenya saja kita harus menggunakan angkot bobrok yang jalannya seperti odong-odong misalnya? Percuma saja ART dibangun.
Dari perspektif lain, kendaraan publik massal ini juga bisa digunakan pemerintah untuk menyalurkan subsidi yang lebih tepat sasaran, misalnya untuk kaum lansia, difabel, dan pelajar. Seperti di Singapura misalnya, kartu yang digunakan oleh lansia, difabel, dan pelajar untuk mengakses bus kota berbeda dengan warga biasa.