Coba anak muda zaman sekarang suruh mengucapkan kalimat ini dengan gaya mereka sendiri.
"Saya sudah tidak ingin lagi dengan kamu, sudah itu saja!"
Sepotong kalimat yang sekilas mudah diucapkan namun belum tentu mencerminkan budaya berbahasa yang baik. Sebagai contoh, pasti anak sekarang akan berbicara kurang lebih seperti seperti ini.
"Aku dah gak pengen lagi sama loe, dah itu aja"
Sah-sah saja mengucapkan bahasa seperti itu toh yang diajak berbicara juga paham. Akan tetapi cerminan berbahasa yang baikkah itu? Menjadi lelucon juga bagi orang barat yang tergila-gila dengan bahasa Indonesia, bahwa di negara ini ada tiga bahasa, yaitu Indonesia, daerah, dan gaul. Unik kan?
Hal itu merupakan masalah yang umum, karena nasi sudah menjadi bubur. Tampaknya pengajaran formal 'Lancar Berbahasa Indonesia' hanya sebagai ilmu saja tanpa penerapan. Permasalahan di atas merupakan kesalahan secara lisan. Jika diurut lebih dalam ada pula kesalahan secara tulisan, dan ini lebih kronis lagi.
Dalam penulisan di media cetak maupun elektronik kerap dijumpai kesalahan yang amat mendasar. Memang masyarakat mungkin paham tentang isi berita maupun cerita. Namun bukankah media juga sarana untuk mencerdaskan bangsa? Selain itu banyak pula kesalahan makna di tempat-tempat umum.
Sebagai contoh kata-kata berikut yang sering muncul di tempat-tempat umum.
"yang punya HP harap dimatikan"
"yang kencing harap disiram"
"yang punya motor harap dimatikan"
Mudah sekali memahami kalimat perintah di atas. Tapi coba terka lebih dalam arti perintah tersebut. Kalimat pertama, kedua, dan ketiga mengartikan bahwa yang dimatikan, dan disiram adalah subjek, dalam artian adalah orang yang punya HP, yang kencing, dan yang punya motor, bukan HP, air kencing, ataupun mesin motor. Sepele memang namun kerancuan berbahasa ternyata lebih membudaya daripada bahasa yang baik, dan benar.
Contoh lain sering di media massa terdapat judul, terutama halaman olahraga dengan kata-kata 'mengejar ketinggalan'. Hal yang lebih parah kesalahan dalam pemberian imbuhan, bagaimana mungkin sebuah koran yang terdapat editor di dalamnya masih ada kata-kata berikut: Mensukseskan, mentaati, mengkutuk, mempesona, memperoleh, dll? Belum lagi kerancuan dalam segi sintaksis, dan juga pemaknaan.
Memang sulit menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar baik secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi hal ini sepertinya tidak berusaha minimal dikurangi justru semakin memasuki zaman global semakin tertinggal bahasa bumi pertiwi ini. Masuknya budaya bahasa asing juga turut mengeliminasi bahasa Indonesia. Di dunia media, terutama media perfilman juga tidak membantu justru semakin memerparah. Kita selalu disuguhi dunia infotainment yang memuakkan. Tak jarang artis yang menjadi idola pun berlagak angkuh dengan sering meremehkan bahasa Indonesia. Lihat Cinta Laura yang ogah mengubah logat kebarat-baratannya. Tengok pula ajang yang baru selesai X Faktor, lebih sering mana lagu barat atau lagu tanah air yang disampaikan? Bukankah ajang tersebut berlabel X-Faktor Indonesia bukan X-Faktor Amerika atau Inggris.
Mengubah masyarakat dalam berbahasa memang sedikit mustahil, akan tetapi bukan tidak bisa. Pemerintah harus lebih memberi perhatian terhadap hal ini karena bahasa merupakan salah satu alat propaganda yang menyatukan bangsa ini seperti yang terkandung dalam sumpah pemuda. Saatnya Bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan kalau bisa diperkenalkan di mata dunia.
SELAMATKAN BAHASA INDONESIA!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H