Walau pagi sudah tiba, tapi kedua kelopak mata, masih saja enggan terbuka. Ingin rasanya, tidur terus berlanjut. Hangat, berbalut selimut. Namun apa daya, lapar merambat, hingga sampai ke dinding perut.
Melawan kantuk, dan beranjak dari pembaringan, bukanlah usaha yang ringan. Huahhh, seperti inikah kantuk istriku? Yang setiap pagi buta berjuang, membuat wedang dan hidangan. Maka pagi ini, kepadanya dan kepada anak-anak, kuproklamirkan, giliranku membuat sarapan!
:::.
Masih ada, setengah panci nasi. Masih ada, setengah lusin telor ayam negeri. Bumbu dapur, tinggal pilih untuk disaji. "Hmmm, masak apa ya pagi ini?" pikirku, bingung sendiri. Dari bahan yang tersedia, agaknya bisa kusulap menjadi menu istimewa, Nasi Goreng "Terserah".
Ke..na..pa..? Karena, rencanaku, masak nasgor-nya bebas-bebas saja. Bebas bahannya, bebas bumbunya, terserah gaya dan caranya. Yang penting, digoreng.. nasinya.
Dari kebebasan dan ke-terserah-an inilah, drama masak nasgor, bermula. Peranku, koki. Isteriku, penasehat ahli. Sementara anak-anak, anggap saja, sebagai pencicip yang akan mengkritisi.
:::.
"Bagaimana ya, memulainya?", pikirku.
Seperti itulah, gayanya koki dadakan. Koki, amatiran. Biasa cuma tinggal makan, lha kok nekad, ganti peran. Andai nasgor dimakan "sendirian", sebebas apapun, tak ada urusan. Soal bahan, soal bumbu, cara, gaya, dan rasa.. bebas, merdeka.
Sejimpit garam, atau segenggam cabe rawit, misalnya,.. terserah. Kurang sedikit ini, tambah anu sebanyak itu, tak masalah. Di hadapan koki amatiran, hampir semuanya.. sah.