Mohon tunggu...
A Kurniawan
A Kurniawan Mohon Tunggu... Buruh - Pemerhati Seni dan Soal Sosial

Akhirnya, kau temukan diriku. Orang kampung, yang ingin terus belajar sampai.......... mati.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Arini, Penjaja Bensin Eceran

13 Februari 2020   13:29 Diperbarui: 13 Februari 2020   13:47 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kejauhan, tampak ia tengah menuang bensin ke tangki motor. Pelan-pelan. Satu botol saja, seliter bensin.

Cukup lama, kami memperhatikannya. Dia, -sebut saja Arini-, wanita setengah baya, penjaja bensin eceran di simpang lampu merah jalan desa. Kendaraan kami, berhenti persis di pinggir jalan, tak jauh dari seberang tempat usahanya.

Setelah melayani pembeli, Arini terlihat menata rapi deretan botol-botol bensin, lalu duduk menanti. Berharap ada banyak kendaraan lewat, dan berharap ada rejeki yang berpihak kepadanya.

:::.

Jendela kaca pintu mobil, kubuka lebar. Dari dalam kendaraan, isteriku sedikit berteriak memanggil namanya, "Ariniii.., Ariiin...!".

Arini berdiri seketika, memandang ke seberang jalan. Tak lama kemudian setengah tergopoh, ia seberangi jalan, mendekati kendaraan.

"Arinn, masih ingat saya?", tanya isteriku sembari turun dari kendaraan.
"Siapa ya.., ini siapa ya??", ia malah balik bertanya, sambil memandangi wajah isteriku. Tatap matanya, berbinar. Berharap, segera ada jawaban.
"Ini aku..., Erni. Teman kecilmu, teman mainmu..!", jawab isteriku.

Arini menatap, lebih cermat.
"yaa Allah.. yaa Allah... Erniii. Apa benar, ini Erni ?? yaa Allah...!", sambut Arini, sembari memeluk erat, sahabat lamanya itu.

Hanya kalimat itu, yang Arini katakan. Yah, hanya kalimat itu. Berulang-ulang.

Sementara, di dalam kendaraan, aku hanya diam tertegun.

:::.

Kusaksikan, dua sahabat yang lama terpisah puluhan tahun itu, kini bertemu. Dua sahabat, yang kini larut berjumpa dalam rindu. Hanyut dalam tangis, di hadapanku! Sungguh, ketika itu, tak ada jarak lahir batin di antara mereka. Tak ada jarak, antara aku yang berkecukupan, dan engkau hidup pas-pasan, bahkan mungkin kekurangan. Aku duduk nyaman di kendaraan, sementara sepanjang hari engkau kepanasan, menjaja bensin eceran!

Sebentar saja, keduanya saling sapa. Melepas kangen secukupnya. Saling berpeluk erat, dan berpamitan.

Dalam genggaman perpisahan, kulihat Erni menyelipkan lembaran uang, yang sejak awal memang sudah disiapkan. Derai air mata Arini, kian bertambah deras! Tangis pun pecah! Mungkin haru..., bercampur gembira.

:::.

Aku ikut larut, merasakan semua pemandangan di depan mataku. Sungguh, sekuat batin, kubendung air mata yang mulai menggenang, agar ia tak jatuh. Tapi, serpihan "kisah Tuhan" yang kusaksikan, telah meluluh-lantakkan batinku. Terlalu indah. Aku pun... lebur dalam tangis, yang kusembunyikan!

Aku kenal baik ayah Arini, seorang penggembala ternak di desa. Ayahnya sangat bersahaja. Sering cerita bersama, dan kini... telah tiada.

:::.

Kendaraan kami perlahan mulai melaju. Dari kaca spion, Arini terlihat berdiri terpaku, melambaikan tangan. Dengan sisa-sisa tetesan air matanya. Tak henti ia memandangi sahabatnya, yang mampir berkunjung menemuinya.

Terima kasih Erni dan Arini. Engkau berdua, telah mengajariku arti persahabatan sejati. Yang tak perlu teori, dan definisi.

@kur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun