Aku kembali berlari ke dapur, dan menemukan wajah simbah putri yang sendu. Masih ada sisa air mata, yang baru saja diseka. Simbah sedikit kaget, melihatku datang tiba-tiba.
"Ini, untuk simbah...", kataku singkat.
Kepada mbah putri, kuberikan sekantong plastik hitam berisi uang recehan. Simbah hanya berdiri memaku, terdiam.
Bisu.
Melihat ada ribuan uang logam, air mata simbah, kembali meleleh jatuh perlahan. Semasa itu, aku tak faham, mengapa simbah memelukku, sembari menangis sesengukan. Mungkin, ia begitu sayang padaku.
"Kenapa, simbah menangis?", tanyaku polos.
Jawabnya hanya tangisan simbah, yang semakin berderai, malah menjadi-jadi tak karuan!
:::.
Kini..., aku mengerti.
Setiap kali kumasukkan uang logam ke dalam celengan, setiap kali itu-lah, bersamanya mengalir ketulusan. Ketulusan, yang terus tertampung dalam celengan bambu. Ketulusan yang sangat terasa welas asihnya, ketika ia sangat dibutuhkan.
Bukankah seteguk air adalah himpunan tetes-demi-tetes yang sangat dibutuhkan, ketika seseorang begitu kehausan?
Sekantong receh dari celengan bambu untuk simbah. Ada kenangan cinta kasih tulus dari simbah, yang begitu terpatri... di kalbu.
@kur.