Mohon tunggu...
Andrey Andoko
Andrey Andoko Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Multimedia Nusantara

Lulus S1 dari jurusan Fisika ITB dan S2 Computer Science Queensland University of Technology, Brisbane, Australia. Selama 15 tahun berkarier di industri media, mulai dari media cetak, online dan radio. Kini di Universitas Multimedia Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bagaimana Respon Perguruan Tinggi dalam Menghadapi AI?

2 Juli 2023   13:12 Diperbarui: 13 September 2023   14:32 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diakhir dekade 1990, kehadiran Internet dianggap remeh oleh banyak perusahaan mapan karena saat itu Internet masih lambat (masih menggunakan modem yang terhubung ke saluran telepon dengan kecepatan 9,6 kbps) dan jumlah pengguna di Indonesia masih sedikit. Butuh waktu lebih dari 10 tahun, jumlah pengguna Internet dan kecepatannya sudah cukup memadai dan menarik orang untuk beralih ke media dan bisnis digital. Begitu juga dengan riwayat terciptanya kamera digital yang kualitas gambar awalnya jauh dibawah film sehingga tidak dikembangkan secara serius oleh penciptanya, Kodak, yang saat itu mendominasi pasar film.

            Pada tahap awal kehadiran CharGPT dan Midjourney, banyak ahli yang masih menganggap remeh kemampuan aplikasi berbasis AI ini karena kemampuannya masih terbatas. Ah.. AI kan hanya bisa seperti itu, karya manusia masih jauh lebih bagus. AI kan tidak bisa digunakan untuk ini…itu. Ya, memang itulah kemampuannya saat ini. Sejarah mungkin akan berulang kalau kita menganggap remeh kemampuannya. Tapi yang pasti AI akan terus dikembangkan dengan didukung oleh computing power yang makin cepat dan data set yang makin besar sehingga kemampuannya dalam menjawab apa saja dan menghasilkan karya yang bagus akan meningkat. Oleh sebab itu, sikap yang paling penting adalah tidak menyangkal (no denial) akan kehadiran teknologi baru dan justru mengeksplorasi kemampuannya serta segera mengadopsi untuk mendukung pekerjaan.

 Organisasional Unlearning

Menghadapi teknologi baru sering kali yang disarankan adalah belajar. Namun kita sering tidak mau belajar hal baru karena kita terbelenggu dengan keahlian, bahkan mindset dan keyakinan lama yang sudah kita kuasai yang telah membawa sukses hingga saat ini. Kenyataannya, banyak perusahaan mapan yang berjaya dengan keahlian dan sumber daya yang besar, akhirnya tidak mampu bertahan menghadapi perubahan, khususnya yang disebabkan oleh teknologi baru yang disruptif. Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa sukses masa lalu bukan menjadi keuntungan untuk masa depan, tetapi justru menjadi beban yang menghambat. Oleh sebab itu, supaya bisa belajar hal baru, yang tidak kalah pentingnya adalah meninggalkan keahlian atau pengetahuan, bahkan mindset dan keyakinan lama karena sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perubahan yang terjadi. Pada tingkat organisasi atau perusahaan, hal ini disebut Organisational Unlearning. Dengan menerapkan Organisational Unlearning, perusahaan atau organisasi, dimana didalamnya terdiri dari orang-orang, akan bisa melakukan Organisational Learning dan menerima hal baru yang berbeda atau bahkan berlawanan dengan yang selama ini diyakini atau dikuasai.  

Di lingkungan perguruan tinggi, selama ini dosen sebagai sumber pengetahuan utama. Namun, kehadiran social media seperti YouTube, banyak sekali pengetahuan bisa kita dapatkan dengan mudah dan murah, bahkan gratis. Apa yang diajarkan oleh dosen mungkin bisa kita dapatkan di Internet. Ditambah dengan kehadiran AI, maka pengetahuan atau bahkan solusi akan semakin mudah didapat. Tidak lagi mencari tetapi langsung mendapatkan jawaban. Hal ini menyebabkan pengetahuan akan menjadi komoditi yang tersedia melimpah dan murah. Oleh sebab itu, model pembelajaran lama, yang bersifat satu arah, dimana dosen sebagai sumber pengetahuan utama sudah tidak lagi relevan.

Bagi sebuah organisasi atau perusahaan, penerapan Organisational Unlearning tidak mudah karena menyangkut berbagai aspek, diantaranya orang-orang dan kepemimpinan. Orang-orang harus meninggalkan keahlian yang selama ini sudah dikuasai, perusahaan harus mengubah prosedur atau proses yang sudah mapan, bahkan perusahaan harus menciptakan produk baru dengan model bisnis yang berbeda yang belum dikuasai. Yang lebih menimbulkan dilema pagi pimpinan perusahaan adalah bila produk baru akan menggerus produk atau bisnis yang lama (kanibalisasi). Kanibalisasi ini yang sering menghambat pimpinan perusahaan atau organisasi untuk segera mengambil keputusan.

Adopsi dan eksplorasi

Tidak terhindarkan, AI harus diadopsi untuk mendukung proses pembelajaran di perguruan tinggi sesuai dengan bidangnya. Adopsi ini tentu tidak bisa begitu saja tetapi harus mengubah model belajar dan menjadikan AI sebagai bagian dari proses pembelajaran. Model belajar satu arah tidak lagi relevan, meski ini bukan hal baru karena model Student Centered Learning sudah ada sejak beberapa waktu. Aplikasi berbasis AI harus di eksplorasi secara maksimum sehingga tahu batas kemampuan dan arah pengembangannya sehingga proses pembelajaran haruslah beyond machine. Yang akan menentukan cukup tidaknya kualitas karya yang dihasilkan oleh AI adalah industry, yang akan menentukan apakah pekerjaan atau profesi tertentu masih memerlukan manusia untuk mengerjakannya.

Bahwa yang akan dihasilkan oleh AI akan setara atau bahkan lebih dari kemampuan dosen, itulah yang menjadi tantangan bagi para dosen untuk terus meningkatkan kemampuannya. Model pembelajaran yang berubah ini juga menuntut mahasiswa untuk menyelaraskan diri dengan derap perubahan kalau nanti tidak ingin pekerjaan atau profesinya digantikan oleh AI. Begitu juga bentuk penilaian, tidak cukup hanya dari hasil akhir. Proses belajar yang melibatkan aktivitas mahasiswa, baik di kelas maupun luar kelas, menjadi makin penting

Dalam sejarah perkembangan teknologi, teknologi baru memang tidak pernah menggantikan seluruh yang lama. Banyak area dimana manusia masih sangat berperan. Resep masakan bisa didapat dengan mudah, tetapi untuk membuat masakan yang enak, tidak semua orang bisa meski memiliki resep yang sama. Untuk itulah, manusia masih memiliki perang penting dalam mewujudkan apa yang disarankan atau dijawab oleh AI. Softskill menjadi makin penting untuk diasah yaitu kemampuan dalam komunikasi, kerja sama tim, kreativitas, inovatif dan kememimpinan yang rasanya tidak mungkin dilakukan oleh mesin, serta sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner).

Universitas Multimedia Nusantara (www.umn.ac.id)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun