Bila Artificial Intelligence (AI) menggerus banyak pekerjaan atau profesi di industri, bagaimana peran perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan ?
Dalam enam bulan terakhir, dunia dihebohkan dengan kehadiran Artificial Intelligence (AI), melalui aplikasi ChatGPT, yang dikembangkan oleh perusahaan OpenAI. Kita bisa bertanya hampir apa saja dan jawabannya cukup baik, meski menurut banyak orang masih belum sepenuhnya akurat. Maklum saja, karena data set yang digunakan untuk menjawab belum yang mutakhir. Google pun menganggap ChatGPT sebagai ancaman besar. Sekarang ini kita menggunakan Google untuk mencari informasi apapun dan Google akan menampilkan banyak sekali sumber informasi yang relevan sesuai dengan kata kunci. Sebaliknya, ChatGPT akan menyajikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang kita ajukan sehingga tidak perlu lagi memilah dan memilih informasi yang sesuai. Suatu saat orang mungkin akan meninggalkan layanan Google dan beralih ke ChatGPT.
AI sebenarnya bukan ilmu komputer baru dan istilah Artificial Intelligence digunakan pertama kali oleh John McCarthy pada 1955. Bahkan di tahun 1935, Allan Turing, seorang pionir di bidang ilmu komputer dari Inggris, telah membayangkan adanya komputer dengan kemampuan seperti AI. Namun kini dengan dukungan data yang jumlahnya sangat besar yang tersedia di Internet, daya komputer (computing power), dan algoritma yang makin capat, penerapan AI menjadi makin nyata. Dalam waktu dekat, akan banyak bermunculan aplikasi berbasis AI dengan tujuan yang lebih spesifik untuk masing-masing bidang.
Harian Kompas memberitakan bahwa AI akan berdampak ke 17 sektor lapangan usaha di Indonesia dan diperkirakan ada 26,7 juta pekerja Indonesia akan terbantu oleh AI. Yang tertinggi adalah bidang informasi dan komunikasi, disusul dengan jasa keuangan dan asuransi. JP Morgan sedang mengembangkan aplikasi AI sebagai penasehat investasi. Namun, selain manfaat untuk meningkatkan produktivitas di berbagai profesi, banyak ahli juga mengkhawatirkan akan masa depan AI yang berpotensi mengancam kemanusiaan. Bahkan para ahli telah mengirimkan surat terbuka akan kekhawatiran penyalahgunaan AI, termasuk Geoffrey Hinton, ilmuwan penerima penghargaan dibidang ilmu komputer dan disebut sebagai “Godfather of AI”.
Selain bisa membantu meningkatkan produktivitas, sebenarnya AI dikhawatirkan akan menggantikan banyak pekerjaan atau profesi yang hanya mengandalkan hasil rekomendasi seperti penterjemah bahasa, konsultan, analis, diagnosa penyakit, dan lain-lain. Bahkan aplikasi berbasis AI seperti Midjourney mampu menghasilkan image dengan kualitas yang baik sesuai dengan perintah dengan bahasa natural (natural language).
Bila industri akan banyak mengganti tenaga kerja nya dengan AI, bagaimana peran perguruan tinggi menghadapi perubahan besar yang sedang terjadi? Dengan aplikasi AI yang mampu menghasilkan berbagai karya berbasis pengetahuan (knowledge), maka knowledge menjadi komoditi, yang bisa didapatkan dengan mudah dan murah (bahkan gratis). Hal ini sebenarnya bukan hal baru. Di YouTube, kita bisa belajar berbagai hal dengan gratis, atau mengikuti belajar online di platform belajar digital yang sebelumnya diajarkan di perguruan tinggi. Lalu bagaimana seharusnya respon perguruan tinggi sebagai institusi yang menghasilkan tenaga kerja yang berpotensi tergantikan oleh AI ?
Clayton Christensen, seorang profesor dari Harvard dan pencetus teori inovasi disruptif (perubahan yang bersifat merusak) pada tahun 1995, mengungkapkan bahwa teknologi baru yang disruptif, awalnya jauh dari teknologi yang sudah mapan sehingga tidak terlalu dianggap oleh perusahan yang besar yang sukses dengan produk atau terknologi terdahulu. Meskipun demikian, teknologi baru memiliki kelebihan dan dapat memenuhi kebutuhan segmen pelanggan tertentu yang masih kecil. Namun teknologi baru akan terus dikembangkan sehingga memiliki kemampuan yang terus meningkat. Pada masa yang sama, perusahaan mapan (incumbent) fokus pada pengembangan produk yang sudah ada untuk melayani pasar yang sudah terbentuk. Awal disrupsi terjadi ketika pelanggan tersebut beralih ke produk baru karena sudah bisa menggantikan produk lama dan memiliki kelebihan. AI diperkirakan akan mendatangkan badai disrupsi di banyak bidang, setelah Internet dan teknologi digital di decade 1990 an yang telah membawa berkah bagi banyak inovator tetapi kehancuran bagi bisnis yang enggan berubah dan mengadopsi teknologi baru dengan cepat.
Respon awal pergururuan tinggi bervariasi. Kekhawatiran yang berlebihan bahwa mahasiswa akan memanfaatkan AI untuk membantu membuatkan tugas atau karya, malah memutar waktu ke jaman pra digital. Beberapa universitas di AS bahkan mengembalikan pengerjaan tugas dan ujian dengan ditulis tangan di kertas dan ujiannya di kelas tanpa akses Internet supaya tidak bisa bertanya ke AI. Ini mungkin aneh. Kehadiran dan pemanfaatan teknologi baru tidak akan pernah dicegah. Bukankah justru seharusnya perguruan tinggi menyadari bahwa AI akan mendatangkan disrupsi sehingga bisa menyiapkan diri untuk mengadopsi teknologi baru tersebut. Kesadaran akan datangnya disrupsi akan membuka pikiran akan ancaman tetapi juga peluang yang bisa dieksplorasi di masa yang akan datang sehingga bisa mempersiapkan diri menghadapinya.
Tidak menyangkal
Diakhir dekade 1990, kehadiran Internet dianggap remeh oleh banyak perusahaan mapan karena saat itu Internet masih lambat (masih menggunakan modem yang terhubung ke saluran telepon dengan kecepatan 9,6 kbps) dan jumlah pengguna di Indonesia masih sedikit. Butuh waktu lebih dari 10 tahun, jumlah pengguna Internet dan kecepatannya sudah cukup memadai dan menarik orang untuk beralih ke media dan bisnis digital. Begitu juga dengan riwayat terciptanya kamera digital yang kualitas gambar awalnya jauh dibawah film sehingga tidak dikembangkan secara serius oleh penciptanya, Kodak, yang saat itu mendominasi pasar film.
Pada tahap awal kehadiran CharGPT dan Midjourney, banyak ahli yang masih menganggap remeh kemampuan aplikasi berbasis AI ini karena kemampuannya masih terbatas. Ah.. AI kan hanya bisa seperti itu, karya manusia masih jauh lebih bagus. AI kan tidak bisa digunakan untuk ini…itu. Ya, memang itulah kemampuannya saat ini. Sejarah mungkin akan berulang kalau kita menganggap remeh kemampuannya. Tapi yang pasti AI akan terus dikembangkan dengan didukung oleh computing power yang makin cepat dan data set yang makin besar sehingga kemampuannya dalam menjawab apa saja dan menghasilkan karya yang bagus akan meningkat. Oleh sebab itu, sikap yang paling penting adalah tidak menyangkal (no denial) akan kehadiran teknologi baru dan justru mengeksplorasi kemampuannya serta segera mengadopsi untuk mendukung pekerjaan.
Organisasional Unlearning
Menghadapi teknologi baru sering kali yang disarankan adalah belajar. Namun kita sering tidak mau belajar hal baru karena kita terbelenggu dengan keahlian, bahkan mindset dan keyakinan lama yang sudah kita kuasai yang telah membawa sukses hingga saat ini. Kenyataannya, banyak perusahaan mapan yang berjaya dengan keahlian dan sumber daya yang besar, akhirnya tidak mampu bertahan menghadapi perubahan, khususnya yang disebabkan oleh teknologi baru yang disruptif. Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa sukses masa lalu bukan menjadi keuntungan untuk masa depan, tetapi justru menjadi beban yang menghambat. Oleh sebab itu, supaya bisa belajar hal baru, yang tidak kalah pentingnya adalah meninggalkan keahlian atau pengetahuan, bahkan mindset dan keyakinan lama karena sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perubahan yang terjadi. Pada tingkat organisasi atau perusahaan, hal ini disebut Organisational Unlearning. Dengan menerapkan Organisational Unlearning, perusahaan atau organisasi, dimana didalamnya terdiri dari orang-orang, akan bisa melakukan Organisational Learning dan menerima hal baru yang berbeda atau bahkan berlawanan dengan yang selama ini diyakini atau dikuasai.
Di lingkungan perguruan tinggi, selama ini dosen sebagai sumber pengetahuan utama. Namun, kehadiran social media seperti YouTube, banyak sekali pengetahuan bisa kita dapatkan dengan mudah dan murah, bahkan gratis. Apa yang diajarkan oleh dosen mungkin bisa kita dapatkan di Internet. Ditambah dengan kehadiran AI, maka pengetahuan atau bahkan solusi akan semakin mudah didapat. Tidak lagi mencari tetapi langsung mendapatkan jawaban. Hal ini menyebabkan pengetahuan akan menjadi komoditi yang tersedia melimpah dan murah. Oleh sebab itu, model pembelajaran lama, yang bersifat satu arah, dimana dosen sebagai sumber pengetahuan utama sudah tidak lagi relevan.
Bagi sebuah organisasi atau perusahaan, penerapan Organisational Unlearning tidak mudah karena menyangkut berbagai aspek, diantaranya orang-orang dan kepemimpinan. Orang-orang harus meninggalkan keahlian yang selama ini sudah dikuasai, perusahaan harus mengubah prosedur atau proses yang sudah mapan, bahkan perusahaan harus menciptakan produk baru dengan model bisnis yang berbeda yang belum dikuasai. Yang lebih menimbulkan dilema pagi pimpinan perusahaan adalah bila produk baru akan menggerus produk atau bisnis yang lama (kanibalisasi). Kanibalisasi ini yang sering menghambat pimpinan perusahaan atau organisasi untuk segera mengambil keputusan.
Adopsi dan eksplorasi
Tidak terhindarkan, AI harus diadopsi untuk mendukung proses pembelajaran di perguruan tinggi sesuai dengan bidangnya. Adopsi ini tentu tidak bisa begitu saja tetapi harus mengubah model belajar dan menjadikan AI sebagai bagian dari proses pembelajaran. Model belajar satu arah tidak lagi relevan, meski ini bukan hal baru karena model Student Centered Learning sudah ada sejak beberapa waktu. Aplikasi berbasis AI harus di eksplorasi secara maksimum sehingga tahu batas kemampuan dan arah pengembangannya sehingga proses pembelajaran haruslah beyond machine. Yang akan menentukan cukup tidaknya kualitas karya yang dihasilkan oleh AI adalah industry, yang akan menentukan apakah pekerjaan atau profesi tertentu masih memerlukan manusia untuk mengerjakannya.
Bahwa yang akan dihasilkan oleh AI akan setara atau bahkan lebih dari kemampuan dosen, itulah yang menjadi tantangan bagi para dosen untuk terus meningkatkan kemampuannya. Model pembelajaran yang berubah ini juga menuntut mahasiswa untuk menyelaraskan diri dengan derap perubahan kalau nanti tidak ingin pekerjaan atau profesinya digantikan oleh AI. Begitu juga bentuk penilaian, tidak cukup hanya dari hasil akhir. Proses belajar yang melibatkan aktivitas mahasiswa, baik di kelas maupun luar kelas, menjadi makin penting
Dalam sejarah perkembangan teknologi, teknologi baru memang tidak pernah menggantikan seluruh yang lama. Banyak area dimana manusia masih sangat berperan. Resep masakan bisa didapat dengan mudah, tetapi untuk membuat masakan yang enak, tidak semua orang bisa meski memiliki resep yang sama. Untuk itulah, manusia masih memiliki perang penting dalam mewujudkan apa yang disarankan atau dijawab oleh AI. Softskill menjadi makin penting untuk diasah yaitu kemampuan dalam komunikasi, kerja sama tim, kreativitas, inovatif dan kememimpinan yang rasanya tidak mungkin dilakukan oleh mesin, serta sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner).
Universitas Multimedia Nusantara (www.umn.ac.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H