Jadi kalau kita membanding dua perbedaan data tadi, stok akhir 2020 (Kementan 7,4 juta ton, sedangkan Faisal Basri kurang dari 1 juta ton) dan rencana produksi nasional kuartal satu 2021 (Kementan 17,5 juta ton, Faisal Basri  14,54 juta ton) maka dengan tingkat konsumsi sebesar 12,3 juta ton sampai Mei 2021, tetap saja posisi per Mei 2021 adalah surplus.
Jadi sementara ini, kita tinggalkan saja dulu polemik soal rencana impor beras 1 juta ton itu. Kita pantau saja argumen mana yang paling masuk akal.
Dalam kesempatan ini kita hanya mau mengingatkan kembali soal pentingnya diversifikasi pangan, sehingga tidak terlalu tergantung dengan politik ekonomi beras. Arahnya ke umbi-umbian, bukan ke gandum atau terigu yang juga masih diimpor besar-besaran.
Menurut kajian yang pernah dilakukan oleh para ahlinya, sebetulnya umbi-umbian merupakan komoditi pangan yang sangat besar potensinya.
Mengacu pada data Kementan tahun 2015, produksi
ubi kayu di Indonesia mencapai 21,8 juta ton, ubi jalar 2,3 juta ton dan kentang sebanyak 1,2 juta ton.
Ada lagi umbi talas yang menurut BPS tahun 2012 produksinya mencapai 312.7 ribu ton. Produksi bengkuang pada tahun 2008 mencapai 57 ribu ton. Belum lagi kita bicara soal sagu.
Jadi potensi produksinya amat banyak. Umbi-umbian juga punya
kandungan gizi dan karbohidrat yang baik. Sehingga bisa jadi bahan pangan alternatif pengganti beras. Tumbuhnya pun bisa di daerah marjinal, serta bisa pula disimpan dalam bentuk tepung atau pati.
Membaca politik ekonomi perberasan saat ini, nampaknya lebih sarat dengan dimensi politik ketimbang ekonominya.
Seperti pernah disinyalir oleh Faisal Basri,