PPP dari 2,7% pada Juni 2020, jadi 2% di Oktober 2020, lalu naik tipis ke 2,1% di Januari 2021 kemarin.
Belajar dari sejarah kemerosotan Partai Demokrat, faktor "terjahat" dari hancurnya sebuah parpol adalah kasus korupsi.
Kampanye "katakan tidak pada korupsi" oleh publik diplesetkan menjadi "katakan tidak pada(hal) korupsi" membuat citra partai hancur lebur, maka rontoklah elektabilitas Partai Demokrat.
Dan ini mesti jadi pembelajaran penting (walau pahit) bagi PDIP dan Gerindra. Kasus Lobster KKP (Edhy Prabowo, Gerindra) dan Dana Bansos (Juliari P. Batubara, PDIP) serta terkatungnya kasus Harun Masiku mesti disikapi dengan bijak, yaitu dengan menunjukkan dukungan parpol terhadap proses hukum tanpa mengkhianati rasa keadilan.
Ini momentum yang baik, bongkar sekalian semuanya, dan bersih-bersih dari dalam. Bangkai yang ditutup-tutupi pakai karpet tak akan mencegah bau busuknya terendus oleh publik yang semakin cerdas dan kritis.
Juga untuk parpol yang saat ini ada dalam parlemen (DPR-RI). Jangan ulangi lagi kinerja buruk pendahulunya di periode 2014-2019.
Ingat, peringatan keras dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) yang mengritisi kinerja DPR periode 2014-2019 sebagai yang terburuk sejak era reformasi.
Itu semua lantaran terlalu banyaknya Rancangan Undang-undang (RUU) prioritas yang tidak bisa direalisasikan.
Waktu itu, selama tahun 2015, RUU yang disahkan DPR hanya berjumlah 3 (tiga). Padahal, targetnya mencapai 40 RUU.
Selama 2016, ada 10 (sepuluh) RUU yang disahkan dari target 50 RUU. Pada 2017, dari target 52 RUU, yang berhasil disahkan cuma 3 (tiga). Berlanjut 2018, dari target 50 RUU, hanya 5 (lima) yang disahkan.
Sedangkan di tahun terakhir (2019), hanya 10 (sepuluh) yang disahkan, dari target 55 RUU.