Survey elektabilitas parpol jelas adalah sesuatu yang dinamis, fluktuatif dari satu masa ke masa berikutnya.
Kalau di masa lalu Partai Demokrat bisa Berjaya, lalu di tahun berikutnya elektabilitasnya bisa saja rontok dan digantikan oleh Partai PDIP dan Gerindra sebagai pendamping.
Mengapa elektabilitas suatu parpol bisa melorot? Ada beberapa dugaan, bisa lantaran terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum parpol tersebut, bisa lantaran kekisruhan yang terjadi di internal parpol, bisa juga oleh sebab lainnya (internal maupun eksternal).
Semua itu bisa diletakkan sebagai faktor. Juga pertanyaan mengenai mengapa suatu parpol bisa naik elektabilitasnya atau ada yang bisa bertahan dengan stabil? Itu semua tentu bisa dianalisa secara fundamental (the stories behind the lines).
Jadi, membaca suatu hasil survey elektabilitas parpol -- yang dilakukan oleh lembaga survey mana pun -- itu ya tak usah baperan.
Tenang saja, lihat data yang disampaikan, teliti dan analisa dengan kritis, dengan obyektif serta dengan 'reserve' juga tidak apa-apa, bahkan perlu. Singkatnya, tak usah juga ditelan mentah-mentah.
Kunyah saja dulu, kalau masih punya gigi. Kalau sudah ompong ya berlakulah pesan Ludwig Wittgentsein, "Whereof one cannot speak (logically) thereof one must be silent", kira-kira begitulah.
Baru-baru ini, Vox Populi, melakukan survey elektabilitas parpol di awal tahun 2021.
Adapun survey-nya sendiri dilaksanakan pada tanggal 26 sampai 31 Desember 2020, melalui telepon kepada 1.200 responden yang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Respondennya dipilih secara acak dari survei sebelumnya.
Alhasil, dengan margin-of-error 2,9% pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan elektabilitas PDIP dan Partai Gerindra mengalami penurunan.
Kalau pada Juni 2020 PDIP masih 33,5%, maka pada Oktober 2020 turun ke 31,3%, dan parahnya pada Januari 2021 anjlok ke 19,6%!