Vox Populi Vox Dei dan Para Pencuri Suara Tuhan
Oleh: Andre Vincent Wenas
Pilkada Serentak sebentar lagi, dan Pemilu Serentak tinggal empat tahun lagi.
Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan) dianggap sebagai pendasaran dari sistem demokrasi. Demokrasi -- paling tidak sampai saat ini -- masih dianggap sebagai sistem politik terbaik yang bisa ditawarkan. Walau pelaksanaannya sering compang-camping disana-sini.
Kita pun menganut sistem demokrasi, seperti tercermin dalam sila keempat dari Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Bukan kerakyatan yang dipimpin oleh teokrasi (sesuai aliran agama/kepercayaan tertentu), atau oleh Monarki (dinasti/keluarga tertentu). Walau sub-sistem demokrasi itu, misalnya parpol dan ormas, banyak yang de-facto menganut sistem dinasti (semacam monarki) maupun berlabel teokrasi.
Sistem demokrasi kita seyogianya dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang terjadi dalam suatu dialektika (diskusi/wacana publik yang sehat). Juga -- demi efisiensi -- dilakukan lewat perwakilan yang dipilih oleh rakyat melalui sistem yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil).
Ini prinsip penting. Luber adalah mekanismenya, dan jurdil adalah landasan moralnya.
Asumsinya, perwakilan yang dipilih lewat mekanisme luber dan di atas landasan moral yang jurdil adalah representasi dari kebenaran. Dan lewat adagium Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara tuhan, segala kebijakan yang mengalir keluar dari trias politika (eksekutif, legislative, yudikatif) adalah yang terbaik bagi publik (bonum commune).
Itu sangat ideal memang, tapi kita pun sadar pula bahwa yang ideal itu tak pernah benar-benar terjadi dalam kenyataan politik praktisnya.
Apakah proses (mekanisme) luber yang seharusnya berjalan di atas landasan moral yang jurdil itu sungguh terjadi? Terus terang, sangatlah diragukan! Kita sama-sama tahu, banyak sekali pencurinya.