Kalau melihat proyeksi kebutuhan (entah itu versi RUEN 2017 maupun IOC 2019) maka persoalan pokoknya adalah sama saja, yaitu akan terjadi kesenjangan (gap) antara kebutuhan nasional dengan kemampuan lifting minyak kita yang tetap lebar, bahkan semakin lebar.
Kalau kemampuan lifting kita masih stabil sekitaran 700 ribuan BOPD (Barrel Oil Per Day) maka gap yang terjadi adalah: di tahun 2020 gapnya sebesar 700 ribu BPOD, di tahun 2025 terjadi gap sebesar 1,2 juta BOPD (versi RUEN 2017) atau gap 600 ribu BPOD (versi IOC 2019).
Dan di tahun 2050, gap sebesar 3,2 juta BOPD (versi RUEN 2017) dan gap 2,2 juta BOPD (versi IOC 2019).
Jadi, sekali lagi, mau pakai versi yang mana pun inti soalnya tetaplah sama, yaitu terjadi gap (defisit), sehingga mau tidak mau masih mesti impor minyak (mentah maupun BBM).
Padahal selain "omelan" Ahok yang memang secara substantif benar, ada juga arahan langsung dari Presiden Joko Widodo yang telah meminta agar importasi minyak mentah dikurangi terus , bahkan sebisa mungkin disetop.
Tinggallah sekarang rencana operasionalisasi dari arahan Presiden serta "omelan" sang komisaris utama Pertamina itu. Potensi dalam negeri jelas ada. Lalu, apa atau siapa yang selama ini menghambat?
Mafia migaskah? Siapa mafia migas itu? Tidak sulit sebetulnya menerka itu. Mafia itu bukanlah perseorangan, tapi sebentuk konspirasi, jalinan jahat para politisi busuk, pengusaha hitam serta antek-antek asing yang kepentingan bancakannya selama ini terganggu oleh kehadiran serta sepak terjang Ahok, Erick dan tentu saja Pakde Jokowi.
Menyikat konspirasi mafia migas ini memang bukan dengan menohok seseorang, tapi dengan menutup keran mereka dan meyunat lahan bancakannya. Otomatis mereka akan kelabakan sendiri, dan mulai berkoar kesana-kemari. Akhirnya, topeng mereka toh akan terkuak oleh ulahnya sendiri yang memang tak kenal malu.
Tak usah dihiraukan. Sikat terus!
"A nation that can't control its energy sources can't control its future." -- Barack Obama
29/09/2020