Baliho yang sudah terpampang di jalan-jalan raya, terang-terangan, menyampaikan pesan politik gamblang sebagai calon kandidat presiden Indonesia 2024, ada dua nama: Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Giring Ganesha dari PSI (Partai Solidaritas Indonesia).
Baliho Giring-PSI 'straight to the point' menyatakan dirinya sebagai kandidat calon presiden 2024. Simple dan terus terang. Tidak pura-pura bikin deklarasi aksi untuk menyelamatkan Indonesia, padahal jebulnya kepingin jadi presiden.
Tidak perlu juga bikin narasi mendiskreditkan pemerintahan Joko Widodo. Langsung saja bilang bahwa dirinya siap untuk mencalonkan diri. Jantan.
Sedangkan Baliho HRS tampil dengan pesan-pesan bernada patriotic. Seperti 'Dirgahayu Indonesiaku', 'Jayalah Negeriku', 'Merdekalah Bangsaku'. Alhamdulillah wa syukurillah, walau baru sebatas pesan-pesan di baliho.
Bedanya antara komunikasi politik via baliho Giring dengan HRS adalah yang satu kandidatnya ada di Indonesia dan bisa memberi keterangan pers secara langsung tentang apa alasannya untuk mencalonkan diri.
Sedangkan untuk HRS beliaunya tidak sedang berada di tanah air, sehingga tidak bisa menjelaskan secara langsung apa maksud dan tujuan balihonya bertebaran juga di beberapa lokasi.
Sehingga dari keterangan Bro Giring kita bisa tahu bahwa ia menyasar segmen pemilih muda yang bakal mendominasi voters di tahun 2024. Sekaligus mulai melakukan edukasi politik agar anak-anak muda Indonesia tidak lagi alergi terhadap politik. Masuk ke dunia politik untuk membuat perubahan, demi Indonesia yang lebih baik.
Sedangkan untuk Pak HRS sampai saat ini belum ada keterangan pers resmi tentang apa motifnya dan bagaimana rencananya bangsa ini ke depan. Bahkan dari pihak yang memasang baliho beliau pun tak ada keterangan pers yang jelas, lantaran mungkin juga belum jelas siapa yang menyeponsori pemasangan baliho politik beliau. Sayang sekali memang.
Yah dinamika agenda pilpres 2024 sudah mulai dengan letupan-letupan kecil, baru kembang api sih, belum mercon besarnya yang membunyikan ledakan.
Di sisi lain, inilah kesempatan untuk semua partai politik mulai melakukan edukasi politik yang mencerdaskan. Tak jadi soal untuk mulai mengelus-elus beberapa jagoannya. Agar publik juga punya cukup waktu untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi serta komitmen dari figur yang dijagokan.
Sekalian untuk mulai memperkenalkan figur. Kita percaya sebetulnya Indonesia punya banyak talenta pemimpin yang bagus. Hanya saja mungkin selama ini tidak muncul ke permukaan, lantaran ruang publik kerap dibisingkan oleh para pemain politik yang itu-itu saja.
Lagi pula memang media-massa hanya mau meliput tokoh-tokoh yang kontroversial karena pertimbangan nilai berita semata. Tak peduli apakah itu hoaks, yang penting rame.
Jadi bolehlah kita mengapresiasi upaya PSI yang mengangkat satu figur muda yang harapannya bisa jadi alternatif pilihan. Tinggal sekarang Bro Giring mulailah mendongkrak popularitas dan menaikkan elektabilitasnya. Tentu dengan unjuk prestasi sebagai bukti kapasitas (kompetensinya).
Masih ada waktu, untuk mengangkat popularitas serta elektabilitas pribadi Giring Ganesha sekaligus juga partainya (PSI). Siapa tahu tatkala menjelang 2024 nama Giring Ganesha sudah bisa sangat tinggi popularitas serta elektabilitas politiknya. Sehingga partai-partai yang saat ini punya kursi di DPR-RI bersedia untuk meminang Bro Giring untuk diusung.
Kalau pun tidak, dengan strategi komunikasi politik yang cerdas seperti ini harapannya bisa mengangkat elektabilitas partai PSI dalam pileg 2024 nanti. Sehingga bisa tembus ambang batas minimal. Dan PSI bisa membuat perubahan di parlemen pusat (DPR-RI), seperti apa yang telah diperbuatnya di DPRD-DKI Jakarta.
Kita semua sangat mengharapkan ada pembaharuan total di parlemen (legislatif) maupun di pemerintahan (eksekutif). Untuk bisa membebaskan Indonesia dari penjajahan politik-uang, intoleransi, serta hipokrisi para maling anggaran. Demi 'bonum-publicum' (kesejahteraan rakyat).
Ini saatnya pemuda-pemuda Indonesia untuk peduli dan tidak buta politik. Lantaran kata Bertolt Brecht (penyair Jerman) yang terkenal itu pernah mengingatkan,
"Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."
26/08/2020
*Andre Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H