Pilkada Serentak 2020 ini, di banyak daerah kita kembali diperhadapkan dengan pilihan-pilihan 'minus-malum'. Mulai dari para petahana yang tidak pernah transparan dalam pengelolaan anggaran (APBD) sampai permainan politik dinasti yang kental dipertontonkan secara telanjang oleh petahana. Konspirasi atau kolusi bersama para kompradornya telah duduk (didudukkan) di berbagai instansi di bawah pengaruh hegemoniknya.
Ternyata proses transaksi politik dalam pola politik transaksional masih belum bisa absen dalam konstelasi pilkada. Kalau bukan partai politik yang terkooptasi, ya parpol itulah yang mengooptasi lembaga lain yang semestinya independen.
Apa yang telah tertuang dalam Undang-undang No. 2/2008 pasal 10 Ayat 1-3 tentang Partai Politik jelas belum terlaksana dengan baik.
Dalam UU itu sebetulnya telah ditunjukkan tujuan dari partai politik. Â Ada dua tujuan partai politik, tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia seperti yang dimaksud dalam Pembukaan UUD'45. Yaitu, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan tujuan khusus dari parpol adalah untuk meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.
Juga memperjuangkan cita-cita parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Serta membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sayang realitasnya parpol sebagai wahana rekrutmen calon pemimpin bangsa malah kerap lebih banyak berperan sebagai agen panyalur ART (asisten rumah tangga) yang bakal siap melayani tuan yang membayar (menyeponsori)nya. Sangat menyedihkan.
Yah, biar bagaimana pun para pemimpin ini adalah juga manusia. Dan tidak ada seorang manusia pun yang begitu sempurna. Maka perlu juga lingkungan (habitat) politiknya dijaga sedemikian rupa.
Mungkin oleh karena itulah dulu Montesquieu pernah mengusung konsep pembagian/ pemisahan kekuasaan menjadi tiga. Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Agar terjadi proses 'check and balances', proses saling mengawasi, juga agar terjadi perimbangan kekuasaan. Karena dulu Lord Acton pernah kasih caveat, "power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."
Yang celaka adalah jika ketiga lembaga politik yang seyogianya melakukan proses 'check and balances' ini malah saling berkolusi dan berkonspirasi, maka korupsi berjamaah serta nepotisme (politik dinasti) pun makin marak serta merusak tatanan demokrasi yang deliberatif.