Memang jadi tidak ada bedanya. Dalam pemahaman politik dinasti yang maknanya ada di kisaran nepotisme, perkoncoan, atau aji mumpung ya jadi sama saja antara Jokowi, Soeharto, Megawati dan SBY.
Paradoksnya, membangun dinasti politik (macam The Kennedy Clan) hanya bisa diraih lewat kawah candradimuka pertarungan argumentatif dengan para lawan oposannya di medan laga politik yang simetris. Tidak jatuh pada skenario murahan politik dinasti, politik perkoncoan yang sarat hipokrisi (kemunafikan).
Dinasti politik yang bermartabat tidak bisa dibangun lewat politik dinasti yang aji mumpung dengan pola dagang sapi di belakang layar.
Lalu apakah kita masih mendukung Jokowi? Ya tentu saja, dengan pertimbangan 'minus malum' (yang paling sedikit buruknya di antara pilihan lain yang jauh lebih buruk). Apa boleh buat.
Begitulah konstelasi pasca 17 Juli 2020, yaitu saat Presiden Joko Widodo memanggil Purnomo (saat ini adalah Wakil Walikota Solo) dan kandidat yang awalnya digadang-gadang Partai PDIP sebagai pengganti FX Hadi Rudyatmo yang sudah akan habis masa jabatannya.
Manyimak laporan Kompas.Com, "Dipanggil ke Istana, Purnomo: Diberitahu Pak Jokowi yang Dapat Rekomendasi Gibran sama Teguh." (baca: ini) kita semua jadi tertegun, lalu terperangah... Lho! Kok begitu sih?
Apa sih urgensinya Presiden Joko Widodo sampai mesti memanggil Purnomo ke istana hanya sekedar memberitahu bahwa rekomendasi PDIP untuk Calon Walikota Solo jatuh ke tangan Gibran? Bukankah itu urusan partai dan kandidat yang bersangkutan?
Apakah pantas presiden memanggil kandidat saingan anaknya hanya untuk urusan seperti itu? Biarlah hati nurani masyarakat akal sehat yang menjawabnya.
Lantaran kejadian itu, kesan yang muncul adalah adanya skenario politik dinasti, yaitu politik yang memanfaatkan hubungan atau kedekatan semata, bukan pertimbangan prestasi dan kompetensi. Akibatnya peta kompetisi dalam kontestasi pilkada jadi asimetris.
Mana bisa seorang Wakil Walikota berhadapan dengan Presiden dalam kondisi simetris? Sangat tidak masuk akal sehat.
Apa sih implikasinya? Jelaslah sudah, tawar menawar dalam dunia politik sangat mungkin terjadi, situ kasih rekomendasi buat anak saya maka saya kasih jatah kursi kekuasaan. Absurd? Tidak. Presiden tersandera secara politik? Jelas. Presiden sekarang bebas tanpa beban? Itu yang absurd.
Apakah tulisan ini dengan intensi kebencian? Tidak sama sekali. Ini kritik! Kritik dari pendukung Jokowi. Kita mungkin saja mengambil posisi yang berbeda dengan pendukung Jokowi yang lain. Tidak mengapa. Berbeda pendapat khan hal yang biasa saja.
Kita memilih untuk mengkritik ketimbang menjilat. Loyalitas kita pada NKRI dan demi tatanan NKRI yang lebih baik bagi generasi masa depan. Tatanan yang menghargai meritokrasi, keadilan dan keberadaban.
Dan kita semua pun paham, bahwa berbagai keputusan politik penting untuk itu hanya bisa diambil dalam kondisi bebas tanpa beban. Tanpa ada kondisi 'tersandera' secara politik.
Apakah kita takut bahwa kritik ini bakal digoreng-goreng oleh kadrun? Hahaha... ada kritik atau tidak ada kritik kepada Jokowi, yang namanya kadrun bakal selalu menggoreng apa pun dengan menu Salawi (semua salah Jokowi). Biar saja. Kita tetap memilih untuk jadi pendukung yang kritis.
Maka jelas kita akan terus menjaga Jokowi sampai 2024, agar beliau bisa menuntaskan tugas konstitusionalnya dengan sebaik-baiknya. Kita mendukung dalam bentuk kritik untuk menjaga, bukan ujaran kebencian untuk menjatuhkan.
Kepada Pak Purnomo, tetaplah semangat di medan perjuangan yang lain. Dan kepada Mas Gibran, selamat berjuang.
Kita masih optimis, pemimpin visioner yang adil dan beradab akan datang untuk membawa Bangsa Indonesia menuju Masyarakat Adil dan Makmur.
Pemimpin yang juga bisa mewarisi keteladanan (legacy) tentang politik bersih yang bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pemimpin yang berbeda dari yang sudah-sudah, yang akhirnya toh terjebak juga dalam politik dinasti.
Mari terus 'Kawal Indonesia', jangan pernah lelah mencintai bangsa ini.
"Amicus Plato, sed magis amica veritas." - Aristoteles.
19/07/2020
*Andre Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H