Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri? Bukankah pariwisata Indonesia sudah dicanangkan sebagai primadona penghasil devisa dan kontributor signifikan pada PDB?
Tentu Indonesia mesti segera bebenah diri. Industri wisata adalah industri yang punya dampak ikutan (multiplier-effects) ke banyak industri lainnya. Baik ke industri bintang-lima sampai industri kaki-lima.
Sebagai gerbang pembuka kepada industri lainnya maka industri pariwisata, lewat industri wellness, mesti segera dibangkitkan kembali.
Kita juga tahu bahwa Indonesia punya varian gaya wellness-spa bernuansa tradisional (ethno-wellness) yang jauh lebih beragam. Pilihan destinasinya pun jauh lebih banyak. Mestinya Indonesia bisa bangkit lebih cepat.
Tinggal saja kerjasama yang apik antara pemerintah yang bisa menggulirkan berbagai regulasi yang kondusif serta daya juang para pemain lapangan di industri ini mesti terus menerus dikobarkan.
Segera para pemain lapangan industri wellness-spa Indonesia mesti duduk berkoordinasi dengan pihak pemerintah untuk menyampaikan rumusan masalah yang jelas dan terarah tentang usulan regulasi apa yang perlu dipangkas? Atau regulasi apa yang perlu dibuat untuk mendukung industri wellness lokal?
Dari pihak pemerintah (kementerian pariwisata dan industri kreatif) pun mesti terbuka dan lebih aktif (bahkan agresif) menyerap aspirasi pelaku lapangan di industri wisata. Lalu rumuskan kebijakan yang kondusif.
Apalagi dalam kondisi krisis semasa pandemi ini para pelaku industri pasti akan lebih membutuhkan bantuan pemerintah untuk bersama-sama membangkitkan kembali aktivitas perindustriannya.
Pemerintah bersama seluruh stake-holders (pemangku kepentingan) industri wisata mesti memetakan segmentasi pasar sasaran asal wisatawan, menyusun tahapan (fase) strategi yang komprehensif. Lalu mengeksekusinya dengan segera.
Misalnya, sebelum pandemi, menteri pariwisata Wishnutama pernah menjelaskan spending wisman yang berkunjung di Indonesia kira-kira USD1.220, sementara di Selandia Baru hampir USD5.000 per kedatangan.
Artinya, kualitas wisatawan yang datang ke Selandia Baru lebih tinggi, walaupun jumlah wisatawannya cuma empat juta. Ini soal kualitas wisman.