Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Penumpukan Utang BUMN, Kritik Adian Napitupulu dan Progres Restrukturisasi

28 Juni 2020   03:50 Diperbarui: 28 Juni 2020   04:17 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Upaya restrukturisasi ini kabarnya telah dilakukan sejak akhir 2018 dan baru tuntas di awal 2020. KRAS memperoleh skema keringanan tenor dan bunga kredit sehingga beban KRAS makin ringan. Melalui  restrukturisasi utang ini KRAS bisa berhemat US$ 685 juta (sekitar Rp 9,3 triliun).

Pertanyaannya bagaimana sebuah perusahaan BUMN bisa punya utang dengan nilai yang begitu fantastis?

Dari penjelasan Direktur Utama KRAS Silmy Karim, ada beberapa indikasi. katanya utang ini sebagian besar untuk menutupi investasi perusahaan di masa lampau. Dimana terjadi mismatch antara investasi dan realisasi business plan-nya. Investasinya besar, tapi sayang tidak menghasilkan keuntungan seperti diharapkan. Kenapa?

Kata Dirut Silmy, "Jadi, kalau ditanya utang buat apa, ya satu buat investasi, tetapi investasi tersebut tidak menghasilkan tambahan penjualan dan juga keuntungan. Kemudian ada pembayaran utang menggunakan utang. Mismatch lah."

Posisi utang yang menumpuk tentu saja makin membebani neraca keuangan perusahaan. Bayar utang dengan utang baru, begitu terus selama bertahun-tahun.

Gali lubang untuk tutup lubang, tapi celakanya lubang yang dibikin pengurus lama sudah terlalu besar, sehingga utang baru pun tidak cukup lagi.

Dirut Silmy pernah bilang, bahwa kebutuhan investasi perusahaan yang ia maksud porsi terbesarnya untuk investasi pembangunan pabrik blast-furnace. Disinyalir nilainya mencapai Rp 10 triliun.

Anehnya, atau sayangnya setelah konstruksi beres dan pabrik mulai beroperasi, manajemen perusahaan memutuskan untuk menghentikan operasi pabrik. Alasannya biaya operasionalnya kemahalan. Lho kok?

Jadi singkat kata, pengembalian (return) investasinya tidak maksimal, tidak sesuai rencana bisnis, atau bahkan hancur berantakan. Konyol memang.

Sampai di sini kita semua mahfum, bahwa yang namanya 'proyek' atau belanja modal (capex) di BUMN itu kabarnya sering jadi sumber bancakan berjamaah.

Untuk memahami lebih gamblang soal struktur utang di banyak BUMN lainnya, sebaiknya kita menilik segala informasi yang dideklarasikan dalam laporan keuangan teraudit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun