Oleh karena itulah setiap pelaku komunikasi (pengirim, medium maupun penerima) mesti kritis dan seyogianya selalu dibimbing oleh suatu acuan etis. Katakanlah itu suatu etika-komunikasi via media massa, atau via media-sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi juga semakin lama semakin canggih, mengalami sofistikasi. Orang menyebut produknya dengan Hi-Tech. Teknologi tinggi (artinya semakin canggih).
Spesifikasi gadget yang ada di genggaman tangan setiap insan pelaku komunikasi pun semakin padat aplikasi dengan segala kemungkinan yang disediakan.
Kalau dulu fungsi awalnya hanya untuk menelepon, sekarang sudah jadi multi-fungsi. Juga untuk cari berita, cari resep makanan, pesan taksi atau ojeg, jadi kompas, jadi pendamping senam kebugaran, cari hiburan tontonan atau musik, jadi peta jalan, sekaligus penunjuk jalan, dan lain sebagainya. Operasi plastik virtual pun sekarang dimungkinkan dengan face-app.
Oh ya, ada juga aplikasi pengusir nyamuk, tikus atau kecoa. Mungkin suatu waktu bakal ada aplikasi pengusir tikus anggaran alias koruptor. Walahuallam! Mudah-mudahan saja ya.
Kalau soal kebiasaan berkomunikasi pra-pandemic mungkin banyak dari kita merasa lebih afdol kalau melakukannya secara tatap muka. Utamanya dalam rapat bisnis maupun untuk kepentingan lain yang lebih personal. Maka pasca-pandemic kemungkinan kebiasaan itu akan terdisrupsi.
Komunikasi via media akan cenderung jadi yang lebih utama, atau paling tidak yang mesti didahulukan. Baru kemudian untuk pendalaman lebih lanjut bisa disambung dengan komunikasi tatap muka secara multilateral (berkelompok) maupun antar-pribadi (bilateral). Itu pun mesti dilakukan dengan suatu protokol kesehatan yang mesti ditaati. Itu yang disebut New-Normal.
Jadi ada suatu suasana baru dalam tema cara berkomunikasi pasca-pandemi. By the way, kapan sih yang disebut dengan 'pasca-pandemi' itu?
Lha, itu pun sebetulnya masih belum jelas, mengingat perilaku sosial yang indisipliner yang masih dilakukan oleh sementara kalangan. Belum lagi olah mereka yang mesti keluar berkeliaran lantaran keterpaksaan kondisinya, terutama keperluan survival. Untuk yang satu ini memang sulit untuk ditawar-tawar. Mau apa lagi.
Tema 'human-touch' dan 'tech-touch' menjadi relevan kalau melihat kenyataan bahwa situasi komunikasi pertama-tama adalah pertukaran simbol antar-insani. Bukankah pengirim pesan dan penerima pesan pertama-tama adalah manusia juga? Tentu dengan segala motif dan intensinya. Metode komunikasi dan juga medium penyampaian pesannya mesti dipahami betul fungsinya, agar suatu proyek komunikasi bisa berhasil guna.
Masing-masing kita saat ini pastilah sudah mulai membiasakan diri (lantaran terpaksa?) untuk berbincang dengan teman, saudara atau bahkan keluarga dekat dengan menggunakan teknologi konferensi jarak jauh (tele-conference), seperti misalnya Zoom, Skype, Google-Meet, dll.