Harapannya, agar dengan proses politik demokrasi yang sejati sedemikian itu, bakal munculah pemimpin-pemimpin politik yang berkualitas. Mereka-mereka yang hasrat kekuasaannya bersifat altruistik-mulia.
Bukan pemimpin politik yang egoistik-korup yang muncul lantaran proses jurdil-luber tadi sudah dikhianati pada instansi pertamanya.
Dikhianatinya sejak proses rekrutmen oleh partai politik yang penuh dengan intrik KKN, yang kemudian disambung dengan siasat 'serangan fajar' dewa mamon (uang) semalam sebelum hari pencoblosan.
Alhasil yang diperoleh adalah para pemimpin politik yang seperti kita rasakan sekarang di banyak provinsi, kabupaten/kota, maupun di DPR-RI dan DPRD.
Sudah kinerjanya buruk, masih pula tanpa ada rasa malu merekayasa sedemikian rupa agar keluarga besarnya duduk di posisi atau jabatan yang ada dibawah hegemoninya. Nepotisme tanpa tedeng aling-aling. Politik dinasti yang brutal.
Bagaimana kita sebagai masyarakat sipil mesti menyikapi itu semua?
Paling tidak ada tiga sasaran. Pertama kritik kepada administrasi kekuasaan di berbagai daerah (maupun pusat). Kedua, terus menerus berupaya menyadarkan (konsientisasi) masyarakat agar sadar-politik.
Dan ketiga, tak putusnya memotivasi diri sendiri agar pantang menyerah dalam partisipasi politik yang kerap hanya menyisakan pilihan-pilihan yang buruk.
Untuk kritik kepada kekuasaan di berbagai daerah dan upaya pendidikan politik masyarakat luas bisa dilakukan di ruang-ruang publik yang tersedia. Media-massa dan media-sosial menjadi wahana yang bisa didayagunakan.
Banjiri ruang-ruang publik dengan narasi politik yang bermutu. Lawan setiap hoaks yang narasi yang membodohi/membohongi publik. Kita tidak bisa tinggal diam.
Ini proses yang terus menerus, berkepanjangan dan memang tidak akan pernah berhenti. Selama hayat masih dikandung badan maka hasrat yang baik maupun yang buruk akan tetap berdenyut.
Bahkan sampai pada saat pemilihan berlangsung, kita bakal kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang buruk. Terhadap itu, kita pun tidak bisa cuek.