Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Bertanya, 129 Juta Pemuda Indonesia Saat Ini Mau (Dibawa) ke Mana?

8 Juni 2020   14:45 Diperbarui: 9 Juni 2020   13:23 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Jokowi Bertanya, 129 juta Pemuda Indonesia saat ini Mau (dibawa) Kemana?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Ini pertanyaan dan tantangan besar. Akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyebutkan ada sebanyak 129 juta generasi muda sebagai sasaran utama untuk membumikan Pancasila terutama melalui olahraga, musik, dan film.

Oleh karena itu semua instrumen negara mesti berkolaborasi dengan para konten kreator serta pegiat media sosial. Agar 48% dari total penduduk Indonesia sekarang yang sekitar 271 juta orang ini tetap kohesif dalam ikatan persatuan ideologis Pancasila. Dimana Pancasila kita maknai dalam jalur pemikiran politik kenegaraan.

"Di dalam jalur politik kenegaraan, orang berpikir untuk kepentingan mengambil keputusan praktis. Di dalam jalur akademik orang berpikir untuk sampai kepada kesimpulan kebenaran, ketetapan dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Jalur akademis mempunyai sifat terbuka untuk diskusi berkepanjangan sedang jalur politik kenegaraan mempunyai sifat decisif praktis terhadap perkembangan masyarakat." (Dari disertasi AMW Pranarka, 'Sejarah Pemikiran Tentang PANCASILA', diterbitkan CSIS, 1985. Hlm: 368)

Ada jendela-peluang (window of opportunity) bagi bangsa kita di sekitar tahun 2030-2040 yang disebut juga dengan 'periode emas' Indonesia. Dimana dalam periode itu, secara demografis jumlah penduduk usia produktif (15 -- 65 tahun) lebih besar dari jumlah penduduk usia non-produktif (0 -- 14 tahun dan 65 tahun ke atas).

Itu tidak lama lagi, cuma sekitar 10 -- 20 tahun saja. Mulai tahun 2030  jumlah penduduk Indonesia akan sekitar 290 jutaan orang, dengan proporsi yang berusia 15-64 tahun akan berada di kisaran angka 64-68%, sehingga angka rasio ketergantungannya adalah sisanya, yaitu sebesar 32-36%.

Tentu kita semua sangat mengharapkan agar angkatan produktif itu, saat window-of-opportunity (jendela-peluang) itu terbuka, mereka sungguh dapat berkiprah. Berkiprah artinya produktivitasnya tinggi, didukung daya inovasi, kreatif dan kecerdasan (intelektual/IQ, emosional/EQ, dan spiritual/SQ), serta dalam kondisi sehat jasmani dan rohaninya. Dan, ini yang penting, tetap setia kepada Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.

Maka supaya generasi ini bisa produktif, segala sarana dan prasarananya (infrastruktur fisik dan non-fisik) mesti disiapkan matang-matang dari sekarang (atau bahkan dari sejak kemarin-kemarin). Dan generasi senior bisa memberi teladan tentang implementasi nilai luhur Pancasila dalam praktek keseharian berbangsa dan bernegara. Bisa jadi role-model, bukan malah jadi model berjaket oranye ala KPK.

Janganlah lupa, periode itu disebut dengan 'jendela-peluang'. Kesempatan atau peluang itu mesti diraih lewat upaya persiapan, agar pada saatnya peluang itu hadir maka bisa dikapitalisasi menjadi rejeki. Dan disebut juga jendela lantaran ada frame-nya, artinya ada batas periodenya, hanya di sekitar tahun 2030 sampai 2040. Satu dekade saja.

Dalam dekade itu ibaratnya Indonesia harus gas pol semua energi bangsanya untuk melompat. Melompat dari posisi negara berkembang menjadi negara maju, masuk dalam 5 besar dunia. Dari ukuran besaran PDB, maupun dari ukuran kemakmuran (prosperity) lainnya atau ukuran kebahagiaan (happiness index).

Adalah tugas kita semua saat ini untuk selama periode persiapan (2020 -- 2030) mengerjakan semua pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan mereka. Apa saja itu?

Kesehatan, pendidikan dan lapangan pekerjaan. Juga tatanan hukum (regulasi) yang kondusif bagi usaha mereka. Kepastian hukum yang adil. Tatanan sosial yang toleran, menghargai prestasi (merit-system) bukan perkoncoan atau politik dinasti yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) seperti yang sekarang dipraktekan oleh banyak kepala daerah maupun partai politik. Praktek politik norak seperti ini mesti segera dihentikan. Memalukan!

Kita punya modal SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah, dan modal SDM (Sumber Daya Manusia) yang bakal jadi bonus demografi. Itu semua mesti diorkestrasi bersama segenap modal-sosial (jejaring-sosial/social-network, tatanan-nilai/value-system dan kepercayaan-sosial/social-trust) yang ada dengan cara sedemikian rupa. Sehingga vektornya menuju ke satu visi.

Orkestrasi itulah yang sekarang sedang giat dikerjakan oleh pemerintah. Arahnya sudah jelas (Visi Indonesia 2045 dan Impian Indonesia 2085). Gaya gravitasi yang menghambat tinggal landas (KKN) mesti dieliminir, agar kita semua bisa mengapitalisasi segala potensi yang ada saat ini. Semuanya demi menghantar generasi milenial memenuhi panggilan sejarahnya kelak.

Ini peluang kita, jangan sampai jendela-peluang itu terbuang percuma dan hanya jadi jendela-bencana akibat produktivitas yang rendah dan kohesivitas bangsa malah tercabik-cabik oleh infiltrasi ideologis yang destruktif terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.

Jadi di periode emas itu nanti, dari total sekitar 290 jutaan penduduk, asumsinya ada sekitar 185-197 juta orang (64-68%) yang produktif.

Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo mengingatkan tentang keberadaan sekitar 129 juta anak-anak muda Indonesia saat ini (di tahun 2020). Itu sekitar 48% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 yang sekitar 271 juta orang.

Kemana orientasi berpikir (ideologis) mereka? Nilai-nilai seperti apa yang sudah tertanam di benak dan sanubari terdalam mereka? Dari mana infiltrasi ideologis itu masuk? Dan beberapa pertanyaan kritis lainnya.

Ada beberapa soal strategis-ideologis yang mesti dibereskan di sini. Dikatakan bahwa Pancasila sebagai falsafah dasar negara (filosofische grondslag) sekaligus sebagai ideal (arah, cita-cita) bangsa itu sudah final. Sudah jadi kesepakatan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Pancasila telah menjadi ideologi-terbuka-dinamis yang menjadi pegangan segenap insan Indonesia. Sudah jadi semacam kontrak-sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Soal ini sila dibaca rangkaian penjelasan detailnya dalam paparan disertasi A.M.W. Pranarka berjudul 'Sejarah Pemikiran Tentang PANCASILA' (diterbitkan oleh CSIS, 1985). Sebuah deskripsi eksplanatoris-kritis yang diurai dengan sangat baik.

Kita tidak lagi mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi-pemersatu (ideal, cita-cita yang mengikat kebhinekaan) bangsa Indonesia. Itulah yang kita maksud sebagai asas final pemersatu bangsa menuju ideal (cita-cita) masyarakat adil makmur.

Kita kutipkan saja dari disertasi Pranarka itu (hlm 368-369),

"Walaupun terdapat interdependensi antara perkembangan pemikiran mengenai Pancasila di dalam jalur politik kenegaraan di satu pihak dan dalam jalur akademis di lain pihak, antara keduanya terdapat perbedaan.

Di dalam jalur politik kenegaraan, orang berpikir untuk kepentingan mengambil keputusan praktis. Di dalam jalur akademik orang berpikir untuk sampai kepada kesimpulan kebenaran, ketetapan dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Jalur akademis mempunyai sifat terbuka untuk diskusi berkepanjangan sedang jalur politik kenegaraan mempunyai sifat decisif praktis terhadap perkembangan masyarakat.

Jalur politik kenegaraan itu mempunyai mekanisme yang diatur oleh Undang-Undang Dasar. Hukum dapat dipandang antara lain sebagai metodologi kerja yang menjadi dasar berpijak pemikiran-pemikiran mengenai Pancasila di dalam jalur politik kenegaraan.

Di dalam jalur politik kenegaraan, kata akhir itu perlu dicapai, untuk dari padanya diambil keputusan-keputusan sebagai dasar tindakan nyata.

Sebaliknya perkembangan pemikiran di dalam jalur akademis mempunyai metodologinya sendiri, sesuai dengan jenis-jenis pemikiran yang dikembangkannya dalam rangka menemukan kebenaran dan kepastian-kepastian akademis.

Di dalam jalur akademis, pemikiran itu tidak pernah sampai pada kata akhir, dan karena itu tidaklah dimaksudkan untuk membuat keputusan praktis.

Maka dari itu kesimpulan-kesimpulan akademis tidak selalu menjadi ketetapan-ketetapan politik kenegaraan. Sebaliknya ketetapan-ketetapan politik kenegaraan tidak merupakan kesimpulan-kesimpulan akademis. Ketetapan politik kenegaraan dapat berkedudukan sebagai bahan untuk dimasukkan dalam pengolahan pemikiran akademis."

Demikian dengan gamblang dijelaskan kesalingtergantungan sekaligus perbedaan antara Pancasila sebagai pemikiran politik dan Pancasila sebagai pemikiran akademis.

Pada praksisnya, Pancasila jelas merupakan sesuatu yang mendasar sekali (fundamental) sifatnya bagi kita bangsa Indonesia. Kontekstual juga pada masa sekarang ini ada banyak persoalan benturan ideologis, persoalan kenegaraan, sampai ke praktek hukum dan sosial kemasyarakatan yang menuntut Pancasila sebagai dasar dan tujuan (ideal) yang bisa membantu menyintesakan berbagai konflik horisontal yang ada.

Tak bisa dipungkiri, dengan demikian Pancasila sudah jadi dasar bernegara Indonesia juga sumber tertib hukum, maka Pancasila pun diakui (disepakati bersama) sebagai ideologi nasional.

Maka dengan latar pemikiran itu, kita bisa memahami kegundahan Presiden Joko Widodo terhadap orientasi ideologis generasi muda sekarang. Dimana dalam era kemajuan teknologi informasi, mereka menyerap banyak sekali nilai-nilai (ada ideologi dibelakangnya) dari berbagai macam media.

Narasi-narasi seperti apa yang telah mengekspose (memapar) generasi muda kita? Ini pertanyaan kritik-ideologi yang penting.

Sehingga dengan nada gundah Presiden Joko Widodo meminta dan mengajak agar semua masyarakat sipil yang sadar (tercerahkan) dengan nilai-nilai kebangsaan yang sehat (artinya yang Pancasilais) bisa mengisi (membanjiri) ruang-ruang publik dengan narasi-narasi besar yang juga sehat.

Sehat artinya yang bisa membangun karakter generasi muda. Karakter yang kuat, kritis, mampu berpikir luas dan mendalam, adil sejak dalam pikiran, peduli lingkungan, punya empati solidaritas, berdaya juang tinggi dan tidak takut (berani) menghadapi perubahan jaman. Tidak cengeng, tidak bermental terabas, korup, egois dan mau gampang atau enaknya sendiri saja.

Karakter-karakter yang selaras dengan kelima sila: berketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, berperikebangsaan (nasionalisme), berjiwa demokratis berdasarkan hikmat dan kebijaksanaannya, berperikeadilan-sosial.

Diperlukan penjabaran yang kontekstual dalam bahasa yang bisa dicerna anak-anak muda. Disampaikan lewat media komunikasi yang juga relevan, artinya yang memang dipakai dan digandrungi oleh generasi muda.

Inilah pekerjaan penting yang mesti dilakukan, kalau kita mau agar generasi muda sekarang yang 129 juta orang itu bisa menghantar Indonesia masuk ke periode emasnya kelak.

Presiden Jokowi berpesan agar lembaga dan kementerian harus tahu apa yang mereka (generasi muda) ini sukai, hati-hati jangan sampai keliru jalur. Mereka sukanya lewat mana kita harus mengerti. Oleh sebab itu kita pun harus tahu mesti bekerjasama dengan siapa saja.

Semua lembaga kementerian, juga BPIP harus tahu mesti mengajak siapa, berpartner dengan siapa saja. Dalam hal ini jelas yang perlu diajak kerjasama adalah para konten kreator, youtubers, selebgram selebtwit, dan yang sejenisnya. Mereka yang ada dalam industri kreatif.

Ini krusial sekali di masa sekarang. Ingat, tugas kesejarahan kita bukan hanya mempersiapkan generasi muda kita agar bisa bekiprah dalam periode emas (tahun 2030 -- 2040). Karena periode emas ini sesungguhnya adalah landasan juga bagi generasi berikutnya lagi.

Periode emas (2030-2040) adalah batu loncatan menuju impian Indonesia tahun 2085 dimana:

Pertama, sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Ketiga, Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi dan peradaban dunia.

Keempat, masyarakat dan aparatur pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi. Kelima, terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Keenam, Indonesia menjadi negara yang mandiri dan negara yang paling berpengaruh di Asia Pasifik. Ketujuh, Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.

Bukankah seperti itu impian Indonesia 2085 yang ada dalam kapsul waktu yang telah mengelilingi 34 provinsi sejak 22 September 2015 lalu?

Dalam konteks pemikiran strategis lintas generasi seperti inilah kita bersama berupaya menjawab pertanyaan Presiden Joko Widodo di atas. Mau (dibawa) kemana 129 juta pemuda Indonesia saat ini?

08/06/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

Sumber:

https://www.youtube.com/watch?v=PN_6NBFUlOs

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/03/16052531/jokowi-minta-youtubers-hingga-selebtwit-dipakai-untuk-membumikan-pancasila

https://www.bappenas.go.id/files/9215/0397/6050/Siaran_Pers_-_Peer_Learning_and_Knowledge_Sharing_Workshop.pdf

https://www.pajak.go.id/id/artikel/menjawab-tantangan-bonus-demografi

https://www.kominfo.go.id/content/detail/16370/dari-bonus-demografi-digital-talent-scholarship-hingga-palapa-ring/0/artikel

https://jurnal.ugm.ac.id/populasi/article/view/8559/6591

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/05/20/usia-produktif-diprediksi-kembali-mendominasi-pada-pemilu-2024

https://nasional.tempo.co/read/1308521/bpip-presiden-minta-fokus-penanaman-pancasila-kepada-milenial/full&view=ok

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/17/15403231/bpip-nilai-generasi-milenial-terputus-dari-penanaman-pancasila

https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/11/170000469/pancasila-sebagai-ideologi-terbuka?page=all#:~:text=Arti%20Pancasila%20sebagai%20ideologi%20terbuka&text=Pancasila%20sebagai%20ideologi%20dinamis%20yang,Pancasila%20yang%20luhur%20secara%20mendasar.

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun