Adalah tugas kita semua saat ini untuk selama periode persiapan (2020 -- 2030) mengerjakan semua pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan mereka. Apa saja itu?
Kesehatan, pendidikan dan lapangan pekerjaan. Juga tatanan hukum (regulasi) yang kondusif bagi usaha mereka. Kepastian hukum yang adil. Tatanan sosial yang toleran, menghargai prestasi (merit-system) bukan perkoncoan atau politik dinasti yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) seperti yang sekarang dipraktekan oleh banyak kepala daerah maupun partai politik. Praktek politik norak seperti ini mesti segera dihentikan. Memalukan!
Kita punya modal SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah, dan modal SDM (Sumber Daya Manusia) yang bakal jadi bonus demografi. Itu semua mesti diorkestrasi bersama segenap modal-sosial (jejaring-sosial/social-network, tatanan-nilai/value-system dan kepercayaan-sosial/social-trust) yang ada dengan cara sedemikian rupa. Sehingga vektornya menuju ke satu visi.
Orkestrasi itulah yang sekarang sedang giat dikerjakan oleh pemerintah. Arahnya sudah jelas (Visi Indonesia 2045 dan Impian Indonesia 2085). Gaya gravitasi yang menghambat tinggal landas (KKN) mesti dieliminir, agar kita semua bisa mengapitalisasi segala potensi yang ada saat ini. Semuanya demi menghantar generasi milenial memenuhi panggilan sejarahnya kelak.
Ini peluang kita, jangan sampai jendela-peluang itu terbuang percuma dan hanya jadi jendela-bencana akibat produktivitas yang rendah dan kohesivitas bangsa malah tercabik-cabik oleh infiltrasi ideologis yang destruktif terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Jadi di periode emas itu nanti, dari total sekitar 290 jutaan penduduk, asumsinya ada sekitar 185-197 juta orang (64-68%) yang produktif.
Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo mengingatkan tentang keberadaan sekitar 129 juta anak-anak muda Indonesia saat ini (di tahun 2020). Itu sekitar 48% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 yang sekitar 271 juta orang.
Kemana orientasi berpikir (ideologis) mereka? Nilai-nilai seperti apa yang sudah tertanam di benak dan sanubari terdalam mereka? Dari mana infiltrasi ideologis itu masuk? Dan beberapa pertanyaan kritis lainnya.
Ada beberapa soal strategis-ideologis yang mesti dibereskan di sini. Dikatakan bahwa Pancasila sebagai falsafah dasar negara (filosofische grondslag) sekaligus sebagai ideal (arah, cita-cita) bangsa itu sudah final. Sudah jadi kesepakatan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Pancasila telah menjadi ideologi-terbuka-dinamis yang menjadi pegangan segenap insan Indonesia. Sudah jadi semacam kontrak-sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Soal ini sila dibaca rangkaian penjelasan detailnya dalam paparan disertasi A.M.W. Pranarka berjudul 'Sejarah Pemikiran Tentang PANCASILA' (diterbitkan oleh CSIS, 1985). Sebuah deskripsi eksplanatoris-kritis yang diurai dengan sangat baik.
Kita tidak lagi mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi-pemersatu (ideal, cita-cita yang mengikat kebhinekaan) bangsa Indonesia. Itulah yang kita maksud sebagai asas final pemersatu bangsa menuju ideal (cita-cita) masyarakat adil makmur.