Mesti terus menerus diingatkan, bahwa presiden itu adalah pemimpin (rakyat) negeri ini, panglima tertinggi TNI. Bukan pertugas partai mana pun!
Wacana reshuffle (kocok-ulang) susunan kabinet (para pembantu presiden) juga bukan soal yang baru atau aneh. Sudah lama, dan bukan hal yang tabu juga, biasa-biasa saja.
Dalam manajemen dan ilmu kepemimpinan ada soal pengukuran atau evaluasi kinerja dan ada sesi-sesi coaching-and-counselling dari seorang pemimpin.
Di suatu titik, seorang pemimpin dituntut untuk berani memutuskan, pertama-tama arah besar (vision, grand-strategy, business-model) dan kedua team-formation (formasi tim) yang akan membantu sang pemimpin merumuskan detail program dan mengeksekusi dengan kompak agar organisasi bergerak bersama (seiring dan selaras) sehingga tercipta sinergi ke arah visi yang dituju.
Dalam realitas kepemimpinan dan manajemen yang dinamis, selalu ada peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan organisasi. Apakah peristiwa itu sudah diantisipasi maupun yang mendadak muncul begitu saja.
Perubahan cuaca di luar organisasi (faktor eksternal) maupun di dalam tubuh organisasi (faktor internal). Itu semua hal yang harus senantiasa disikapi dengan positif dan bijaksana (artinya dengan penuh perhitungan dan pertimbangan serta keberanian dan kesabaran).
Kembali ke soal wacana reshuffle kabinet. Sebetulnya sudah sejak evaluasi 100 hari kerja kabinet Presiden Joko Widodo disekitar akhir Januari atau awal bulan Februari 2020 lalu. Saat itu juga pernah ada pertemuan presiden dengan para pegiat media sosial di Istana Bogor.
Dan pasca pertemuan itu sempat bertiup kencang isu bakal adanya reshuffle kabinet. Lantaran  dalam pertemuan tersebut sempat pula disinggung kinerja menteri yang dinilai kurang cepat dan kurang mampu beradaptasi.
Bahkan jubir Fadjroel Rahman sempat pula menyampaikan pernyataan Jokowi yang katanya tak segan mencopot menteri yang kerjanya lamban dan tidak bisa beradaptasi. Nah!
Saat itu presiden mengingatkan menterinya untuk melaksanakan instruksi yang disebut prioritas Panca Kerja Indonesia Maju, yaitu: pembangunan sumber daya manusia, melanjutkan pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, serta transformasi ekonomi modern bernilai tambah, kemudian berpihak pada kemajuan lingkungan hidup dan kehidupan sosial budaya yang berkemajuan secara efektif dan efisien.
Karenanya, diperlukan anggota kabinet yang dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) cepat dengan fungsi kementeriannya.
Inti soalnya, kita tidak alergi terhadap isu reshuffle kabinet. Itu soal yang biasa dalam manajemen dan kepemimpinan. Apalagi di tataran negara. Tanggung jawab terakhir tetaplah ada di tangan sang presiden.
Tugas dan kepentingan ideal partai politik adalah menghantarkan putra terbaik bangsa menjadi pemimpin negeri ini.
Untuk memimpin seluruh rakyat menuju Masyarakat Adil Makmur, yaitu menjadi suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil, sejahtera, maju, beradab, percaya diri, berperikemanusiaan, pasca menyeberangi jembatan emas proklamasi kemerdekaan dulu.
Tentu wajar-wajar saja jika partai politik ikut berkontribusi untuk 'menyumbangkan' kader-kader terbaiknya sebagai bagian dari formasi tim pembantu presiden. Itu tidak dipungkiri. Sama seperti tidak bisa dipungkiri pula bahwa hak prerogatif presidenlah yang menjadi penentu akhir siapa-siapa yang akan dipilihnya.
Sekarang sudah lebih dari setengah tahun kabinet Jokowi periode kedua ini berkiprah. Evaluasi kinerja semesteran pasti sudah dilakukan oleh sang presiden.
Di tengah kemelut pandemi Covid-19 ini tambah jelas lagi mana-mana saja pembantu presiden yang sigap lincah dan cerdas dalam kerja sama tim untuk mendukung visi presiden. Itu jelas.
Setelah pada semester awal ini Presiden Joko Widodo 'memberi kesempatan' alias 'mengakomodir' kepentingan partai-politik untuk mendudukan kader-kadernya atau 'orang yang dianggap' sebagai kadernya untuk jadi menteri, maka sudah cukup waktunya untuk sekarang memberi keleluasaan sepenuh-penuhnya bagi presiden menentukan sendiri (sesuai dengan hak prerogatifnya) siapa-siapa saja yang bisa terus, dan siapa saja yang mesti masuk kotak.
Publik juga bisa menilai, partai-partai mana yang sewot dengan isu reshuffle kabinet, dan partai mana yang cerdas memberi masukan tulus demi efektivitas kerja presiden dan timnya.
Seperti pernah diingatkan oleh Prof.Franz Magnis-Suseno dulu,
"Masih banyak sekali hal yang selama lima tahun pertama pemerintahan Jokowi belum berhasil ditangani seluruhnya. Jumlah orang miskin dan hampir miskin masih terlalu besar, keadilan sosial masih jauh dari harapan, pertumbuhan ekonomi sedang-sedang saja, pembangunan infrastruktur sebagian besar masih dalam proses, dan sejumlah BUMN kunci dalam tekanan."
Apalagi sekarang ada tekanan besar yang sifatnya mondial (mendunia), pandemi Covid-19. Semua tantangan ini hanya akan dapat ditangani Presiden Jokowi apabila ia punya tangan bebas untuk mengangkat para pembantunya yang sungguh berkualitas:
"Menteri dan pembantu kunci yang integer, bebas dari bayang-bayang korupsi, betul-betul kompeten, berwawasan kebangsaan, bersemangat maju. Tak boleh terulang kabinet yang terus diwarnai pergantian menteri, hasil akomodasi kiri-kanan." (Franz Magnis-Suseno).
Kalau presiden Joko Widodo saat terpilih di periode kedua kemarin pernah bilang bahwa ia sekarang bebas beban, ia tak lagi punya beban politik, maka inilah saatnya untuk membuktikan. Ia bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang fundamental secara politik, ekonomi, dan historis kebudayaan. Termasuk membereskan semua beban sejarah yang masih menggelayuti bangsa ini. Tapi pertama-tama sekarang pilih menteri yang mumpuni, bukan menteri yang mumpung-mumpung.
Bahwa masih ada partai politik yang ngotot menuntut bagian dari kursi kekuasaan, bisa kita lihat sendiri dari reaksi mereka terhadap isu reshuffle kabinet.
Mereka nampaknya gentar, kenapa gentar? Karena tidak punya kompetensi dan kepercayaan diri. Sudah kinerja kadernya buruk, mungkin juga target bancakannya belum sampai. Jelas kepentingannya bukan untuk bangsa dan negara. Tapi semata hanya untuk egoisme primordialistiknya sendiri.
Coba tilik saja kinerja partai politik (fraksi) atau kadernya di parlemen selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Bahkan tugas utama legislasinya pun berantakan. Bukannya menuntaskan berbagai RUU jadi UU supaya eksekutif bisa bekerja berdasarkan payung hukum yang kuat, malahan sibuk bancakan (e-ktp misalnya), atau dagang sapi pasal-pasal di RUU.
Akhir-akhir ini pun tercium bau busuk ulah parpol tertentu yang tak jemu-jemu mengupayakan pelemahan KPK. Kenapa? Supaya skenario bancakan mereka bisa melaju di jalan bebas hambatan.
Parpol-parpol ini sama sekali tidak komit untuk memberantas korupsi. Tapi mereka malah getol menuntut jabatan menteri, bahkan sampai ada parpol yang tanpa rasa malu sedikit pun kasih target minimal sekian kursi menteri. Duh!
Ini menyedihkan. Dulu sampai ada pimpinan parpol yang dengan kurang ajar berani bilang bahwa presiden adalah petugas partai. Mungkin dia lupa bahwa yang dipilih rakyat untuk jadi presiden adalah figur pribadinya. Saat itu partai hanya nebeng populer saja. Tak ada pilihan lain, karena pada akhirnya yang memilih adalah rakyat yang mendukung figur Jokowi. Pilihannya cuma, ikut mendukung (mengusung) Jokowi atau tergilas.
Baru-baru ini isu reshuffle kabinet berhembus kembali. Ditiupkan oleh seorang politisi muda yang juga jubir PSI (Partai Solidaritas Indonesia), Dara Nasution.
Katanya, "Kita perlu memikirkan langkah cepat mengantisipasi masalah yang ada di depan mata. Tantangan yang semakin besar yang membutuhkan tidak hanya kerja keras, tapi juga kompetensi dan keberanian mengambil keputusan di tengah krisis."
Krisis, berasal dari bahasa Yunani yang bermakna setiap peristiwa yang sedang terjadi (atau diperkirakan) mengarah pada situasi tidak stabil dan berbahaya yang memengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau seluruh masyarakat. Maka perlu ada tindakan cepat, cerdas dan berani. Itu saja.
Bahwa ada rasa kekecewaan masyarakat terhadap kinerja tim pembantu presiden saat ini, sudah bukan rahasia. Bahkan beberapa survei atau jajak pendapat tentang kinerja kabinet pun sudah pernah ada yang melakukannya. Kinerja kabinet itu adalah hal yang terbuka, publik bisa dan berhak menilai, dari berbagai sudut pandangnya masing-masing.
Dan itu bukan juga sesuatu yang tabu, biasa-biasa saja. Namun toh tetap saja bahwa formasi kabinet adalah hak prerogatifnya presiden, sebagai pemegang mandat rakyat. Maka hak ini melekat pada Presiden Jokowi, kita semua mesti sungguh menghormati itu.
Sementara itu, kepekaan terhadap suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat luas atas kinerja sejumlah menteri dalam menangani pandemi ini sangat diperlukan. Tidak bisa abai (ignorance).
Kalau ada yang bertanya, lalu menurut Dara Nasution (PSI) siapa saja yang tidak perform dan perlu diganti? Ini bukan pertanyaan yang etis untuk dijawab oleh seorang Dara Nasution yang jubir PSI itu. Kenapa?
Karena kinerja masing-masing menteri itu diketahui dan difahami luar-dalam oleh Presiden Jokowi lewat berbagai sessions pertemuan dengan para pembantunya itu (coaching and counselling sessions), ratas (rapat terbatas), rapat kabinet rutin, dan penilaian hasil (kinerja) objektif dari kementeriannya masing-masing menurut pandangan presiden sendiri.
Presiden Jokowi lah yang tahu bahwa ada menteri yang sedang pontang-panting membereskan birokrasi acak-adut di beberapa kementerian, ada yang sedang pasang badan melawan tentakel para mafia ekonomi di departemennya, dan berbagai romantika dunia persilatan administrasi pemerintahan.
Maka, bagaimana jika pertanyaannya dibalik dan ditujukan kepada masing-masing parpol tentang kader-kadernya yang duduk di kabinet. Prestasi apa saja yang telah mereka (para kader) ini perbuat selama setengah tahun terakhir? Supaya mereka punya semacam 'legitimasi' publik untuk terus membantu presiden.
Misalnya, apakah instrumen pemberantasan korupsi makin hebat atau makin memble? Apakah sistem perdagangan dalam ekonomi kerakyatan semakin kuat struktur pasarnya? Apakah kasus-kasus di pengadilan yang mangkrak bertahun-tahun sudah banyak yang beres? Apakah mafia tanah dan mafia-migas serta mafia ekonomi lainnya sudah diberantas? Apakah para DPO sudah ditangkap? Apakah dana-dana gelap yang diparkir di Swiss, Panama Papers, Paradise Papers, dan lain-lain sudah diperjuangkan oleh para pimpinan parpol dan kadernya untuk direpatriasi? Dsb.
Banyak kok pertanyaan penting yang bisa dibantu jawab atau malah dibantu penyelesaiannya oleh para petinggi parpol, apalagi yang punya kader yang sedang duduk di kabinet.
Dengan begitu parpol bisa sedikit banyak membantu presiden menyegarkan kembali formasi kabinetnya. Agar mereka bisa sungguh-sungguh jadi pembantu presiden yang integer, bebas dari bayang-bayang korupsi, betul-betul kompeten, berwawasan kebangsaan dan bersemangat maju
Jangan lupa, menteri adalah pembantu presiden, dan presiden bukanlah petugas partai, ia petugas rakyat. Tugasnya membela kepentingan rakyat banyak. Bukan kepentingannya nenek loe!
28/05/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Sumber: Kompas 1 2 3 4, Tribun, Indo News
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H