"Menteri dan pembantu kunci yang integer, bebas dari bayang-bayang korupsi, betul-betul kompeten, berwawasan kebangsaan, bersemangat maju. Tak boleh terulang kabinet yang terus diwarnai pergantian menteri, hasil akomodasi kiri-kanan." (Franz Magnis-Suseno).
Kalau presiden Joko Widodo saat terpilih di periode kedua kemarin pernah bilang bahwa ia sekarang bebas beban, ia tak lagi punya beban politik, maka inilah saatnya untuk membuktikan. Ia bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang fundamental secara politik, ekonomi, dan historis kebudayaan. Termasuk membereskan semua beban sejarah yang masih menggelayuti bangsa ini. Tapi pertama-tama sekarang pilih menteri yang mumpuni, bukan menteri yang mumpung-mumpung.
Bahwa masih ada partai politik yang ngotot menuntut bagian dari kursi kekuasaan, bisa kita lihat sendiri dari reaksi mereka terhadap isu reshuffle kabinet.
Mereka nampaknya gentar, kenapa gentar? Karena tidak punya kompetensi dan kepercayaan diri. Sudah kinerja kadernya buruk, mungkin juga target bancakannya belum sampai. Jelas kepentingannya bukan untuk bangsa dan negara. Tapi semata hanya untuk egoisme primordialistiknya sendiri.
Coba tilik saja kinerja partai politik (fraksi) atau kadernya di parlemen selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Bahkan tugas utama legislasinya pun berantakan. Bukannya menuntaskan berbagai RUU jadi UU supaya eksekutif bisa bekerja berdasarkan payung hukum yang kuat, malahan sibuk bancakan (e-ktp misalnya), atau dagang sapi pasal-pasal di RUU.
Akhir-akhir ini pun tercium bau busuk ulah parpol tertentu yang tak jemu-jemu mengupayakan pelemahan KPK. Kenapa? Supaya skenario bancakan mereka bisa melaju di jalan bebas hambatan.
Parpol-parpol ini sama sekali tidak komit untuk memberantas korupsi. Tapi mereka malah getol menuntut jabatan menteri, bahkan sampai ada parpol yang tanpa rasa malu sedikit pun kasih target minimal sekian kursi menteri. Duh!
Ini menyedihkan. Dulu sampai ada pimpinan parpol yang dengan kurang ajar berani bilang bahwa presiden adalah petugas partai. Mungkin dia lupa bahwa yang dipilih rakyat untuk jadi presiden adalah figur pribadinya. Saat itu partai hanya nebeng populer saja. Tak ada pilihan lain, karena pada akhirnya yang memilih adalah rakyat yang mendukung figur Jokowi. Pilihannya cuma, ikut mendukung (mengusung) Jokowi atau tergilas.
Baru-baru ini isu reshuffle kabinet berhembus kembali. Ditiupkan oleh seorang politisi muda yang juga jubir PSI (Partai Solidaritas Indonesia), Dara Nasution.
Katanya, "Kita perlu memikirkan langkah cepat mengantisipasi masalah yang ada di depan mata. Tantangan yang semakin besar yang membutuhkan tidak hanya kerja keras, tapi juga kompetensi dan keberanian mengambil keputusan di tengah krisis."
Krisis, berasal dari bahasa Yunani yang bermakna setiap peristiwa yang sedang terjadi (atau diperkirakan) mengarah pada situasi tidak stabil dan berbahaya yang memengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau seluruh masyarakat. Maka perlu ada tindakan cepat, cerdas dan berani. Itu saja.