Pelakunya kelas kakap di dunia pendidikan tinggi, level rektor universitas. Sasarannya lembaga pembinanya, kementerian (pemerintah). Yaolohhh... kok ndak kapok-kapok ya.
Asumsinya khan rektor itu cerdas, berpengetahuan dan sadar hukum. Jadi ini memang bukan soal kepintaran atau pengetahuan. Ini lebih dalam dari itu, soal akhlak, moral, etika.
Apakah praktek gratifikasi berbungkus THR Lebaran, tahun baru, angpao imlek, kado natal, atau nama-nama berbau religius lainnya itu sudah jadi kebiasaan? Kita ndak pernah tahu persis, atau persisnya ndak pernah ketahuan.
Padahal sudah jelas kok definisi gratifikasi itu termasuk lingkup korupsi. Sosialisasinya pun sudah dilakukan berkali-kali oleh lembaga anti rasuah nasional. Baca saja di laman resmi KPK-RI yang bisa diakses publik setiap saat. Bahkan di setiap kantor pemerintahan selalu ada spanduk, standing-banner atau yang sejenisnya dengan pesan kira-kira 'kantor ini bebas korupsi', 'kami tidak menerima gratifikasi', dll.
Mengenai Gratifikasi. Definisi atau pengertian dan dasar hukumnya
menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001:
"Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."
Terkecuali si penerima melaporkannya, maka ia bebas alias bersih dari tindak pidana korupsi.
Sudah ada pula peraturan yang mengatur gratifikasi. Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001:
"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya."
Sanksinya pun jelas, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Nah lho!
Lalu siapa saja yang wajib lapor kalau tahu dirinya akan diberi gratifikasi? Itu pun benderang, sesuai UU No. 28/1999:
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim. Sampai Pejabat Negara Lainnya seperti: Duta Besar, Wakil Gubernur, Bupati / Walikota dan Wakilnya,
Termasuk pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis, seperti: Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD; Pimpinan Bank Indonesia; Pimpinan Perguruan Tinggi; Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer; Jaksa; Penyidik; Panitera Pengadilan; Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek; Pegawai Negeri.
Rinciannya tidak berhenti sampai di situ. Supaya jelas dan mencakup maka berdasarkan UU No.20/2001 meliputi: pimpinan dan pegawai pada: MA, MK; Lembaga Kementerian/Departemen & LPND; Kejagung; Bank Indonesia; Sekretariat MPR/DPR/DPD/DPRD Propinsi/Dati II; Perguruan Tinggi; Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keppres; Sekr.Presiden, Sekr.Wk. Presiden, Sekkab dan Sekmil; BUMN dan BUMD; Badan Peradilan Anggota TNI dan POLRI, Sipil dilingkungan TNI dan POLRI; Pemda Dati I dan Dati II
Sengaja kita tulis ulang sekedar untuk saling mengingatkan. Kabarnya (sebagian) orang kita gampang lupa. Buktinya kemarin caleg mantan napi koruptor saja masih bisa jadi anggota dewan. Entah bagaimana cerita di belakang layarnya, partai politiknya pun masih nekad (tega) mencalonkan mantan napi koruptor sebagai sebagai kontestan.
Sampai segitu detailnya rincian tentang siapa yang wajib lapor. Kalau sampai seorang intelektual level rektor tidak paham sih memang keterlaluan. Seperti kasusnya Komarudin, rektor UNJ (Universitas Negeri Jakarta), dulu IKIP Jakarta. Ia dicokok KPK lantaran dugaan akan memberi gratifikasi kepada pejabat di Ditjen Dikti Kemendikbud.
Namun dari pihak yang disasar untuk diberi gratifikasi, menurut Muchlis R. Luddin, Irjen Kemendikbud, pihaknya sudah  menerima laporan dari masyarakat soal upaya pemberian gratifikasi berselubung THR Lebaran tersebut. Setelah diverifikasi dan validitasnya akurat, maka bersama-sama KPK ditangkaplah rektor UNJ itu.
Modusnya, menurut Karyoto (Deputi Penindakan KPK), rektor Komarudin diduga meminta dekan fakultas dan lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang THR masing-masing Rp 5 juta kepada Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor pada 13 Mei 2020. Untuk kemudian THR diserahkan kepada Direktur SDM di Dirjen Dikti Kemendikbud dan beberapa stafnya.
Ini tentu detrimental dengan agenda besar Presiden Joko Widodo yang mencanangkan periode 5 tahun keduanya sebagai era pembangunan Manusia Indonesia, SDM Unggul Indonesia Maju.
Karena memang, seperti pernah disampaikan oleh Dr.Soedjatmoko, "Kekuatan nasional akan tergantung dari kemampuan intelektual dan kekuatan wataknya, sesuatu yang disebut kualitas manusianya." (dalam 'Pembangunan dan Kebebasan', LP3ES, 1985).
Menyongsong bonus demografi 2024 dan era Indonesia Emas 2045, gambaran Manusia Indonesia kiranya persi juga seperti yang pernah digambarkan cendekiawan Soedjatmoko, yaitu manusia yang 'well informed' (berpengetahuan luas dan dalam), sadar bahwa proses belajar tidak akan pernah selesai.
Mampu mencerna informasi secara tuntas (tidak cuma baca judul, apalagi yang bernuansa 'click-bait'), sambil meningkatkan kemampuan analisis yang tajam. Berpikir secara integratif dan konseptual, menalar secara rasional. Sehingga tidak diliputi ketakutan-ketakutan yang irasional (komoditinya para pengasong surga-neraka).
Suatu hal yang membuat kita lebih sedih dan prihatin adalah tragedi ini terjadi di sebuah lembaga pendidikan yang mesti melahirkan para pendidik.
Selain itu kita juga jadi bertanya-tanya, apakah praktek gratifikasi berselubung nama-nama religius seperti itu sudah jadi kebiasaan? Tahu sama tahu. Ada supply lantaran ada demand? Dan apakah kasus di UNJ ini hanya pucuk dari gunung es?
Bahwa sesungguhnya ada banyak kasus sejenisnya di berbagai lembaga lainnya seperti rincian siapa saja wajib lapor gratifikasi di atas tadi.
Sehingga kita meminta, demi program SDM Unggul Indonesia Maju, bongkar habis praktek gratifikasi semacam itu. Itu penyakit menular yang mendidik orang jadi hipokrit. Harus tuntas.
"Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun, ayo lekas dihukum, jangan diberi ampun." - lagu anak-anak jaman dulu (yang sempat diprotes).
23/05/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H