Lalu siapa saja yang wajib lapor kalau tahu dirinya akan diberi gratifikasi? Itu pun benderang, sesuai UU No. 28/1999:
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim. Sampai Pejabat Negara Lainnya seperti: Duta Besar, Wakil Gubernur, Bupati / Walikota dan Wakilnya,
Termasuk pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis, seperti: Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD; Pimpinan Bank Indonesia; Pimpinan Perguruan Tinggi; Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer; Jaksa; Penyidik; Panitera Pengadilan; Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek; Pegawai Negeri.
Rinciannya tidak berhenti sampai di situ. Supaya jelas dan mencakup maka berdasarkan UU No.20/2001 meliputi: pimpinan dan pegawai pada: MA, MK; Lembaga Kementerian/Departemen & LPND; Kejagung; Bank Indonesia; Sekretariat MPR/DPR/DPD/DPRD Propinsi/Dati II; Perguruan Tinggi; Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keppres; Sekr.Presiden, Sekr.Wk. Presiden, Sekkab dan Sekmil; BUMN dan BUMD; Badan Peradilan Anggota TNI dan POLRI, Sipil dilingkungan TNI dan POLRI; Pemda Dati I dan Dati II
Sengaja kita tulis ulang sekedar untuk saling mengingatkan. Kabarnya (sebagian) orang kita gampang lupa. Buktinya kemarin caleg mantan napi koruptor saja masih bisa jadi anggota dewan. Entah bagaimana cerita di belakang layarnya, partai politiknya pun masih nekad (tega) mencalonkan mantan napi koruptor sebagai sebagai kontestan.
Sampai segitu detailnya rincian tentang siapa yang wajib lapor. Kalau sampai seorang intelektual level rektor tidak paham sih memang keterlaluan. Seperti kasusnya Komarudin, rektor UNJ (Universitas Negeri Jakarta), dulu IKIP Jakarta. Ia dicokok KPK lantaran dugaan akan memberi gratifikasi kepada pejabat di Ditjen Dikti Kemendikbud.
Namun dari pihak yang disasar untuk diberi gratifikasi, menurut Muchlis R. Luddin, Irjen Kemendikbud, pihaknya sudah  menerima laporan dari masyarakat soal upaya pemberian gratifikasi berselubung THR Lebaran tersebut. Setelah diverifikasi dan validitasnya akurat, maka bersama-sama KPK ditangkaplah rektor UNJ itu.
Modusnya, menurut Karyoto (Deputi Penindakan KPK), rektor Komarudin diduga meminta dekan fakultas dan lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang THR masing-masing Rp 5 juta kepada Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor pada 13 Mei 2020. Untuk kemudian THR diserahkan kepada Direktur SDM di Dirjen Dikti Kemendikbud dan beberapa stafnya.
Ini tentu detrimental dengan agenda besar Presiden Joko Widodo yang mencanangkan periode 5 tahun keduanya sebagai era pembangunan Manusia Indonesia, SDM Unggul Indonesia Maju.
Karena memang, seperti pernah disampaikan oleh Dr.Soedjatmoko, "Kekuatan nasional akan tergantung dari kemampuan intelektual dan kekuatan wataknya, sesuatu yang disebut kualitas manusianya." (dalam 'Pembangunan dan Kebebasan', LP3ES, 1985).
Menyongsong bonus demografi 2024 dan era Indonesia Emas 2045, gambaran Manusia Indonesia kiranya persi juga seperti yang pernah digambarkan cendekiawan Soedjatmoko, yaitu manusia yang 'well informed' (berpengetahuan luas dan dalam), sadar bahwa proses belajar tidak akan pernah selesai.