Tapi rupanya Singapura tidak terima dianggap menyembunyikan Honggo. Melalui kementerian luar negerinya mereka menyatakan tidak ada nama Honggo Wendratno di negaranya.
Padahal lima tahun lalu (Agustus 2015), Komjen Budi Waseso yang kala itu jadi Kabareskrim sudah menjemput dan ketemu Honggo di Singapura, tetapi urung lantaran katanya Honggo lagi dirawat di RS.
Dengan alasan itu dan pertimbangan kemanusiaan serta masih dilindungi Undang-Undang, Komjen Budi Waseso pun pulang dengan tangan hampa.
Sampai tahun 2018 saat berkas akan diserahkan ke Kejaksaan, Honggo pun belum kelihatan batang hidungnya. Kadiv Humas Polri saat itu, Irjen Setyo Wasisto berkilah, "Kita nggak kecolongan, kita tahu dia ada di Singapura informasinya." Namun Irjen Setyo juga tak menutup kemungkinan Honggo pakai paspor palsu sehingga sulit dilacak. Lha?
Tinggal sekarang Kabareskrim Komjen Listyo Sigit yang ketempuhan mesti nyari lagi dan menghadirkan Honggo di pengadilan. Ia saksi kunci yang bisa membuka banyak tabir.
Selain pertanyaan di manakah Honggo saat ini dan kenapa mesti kabur? Kasus TPPI-BPMigas ini sendiri telah meninggalkan banyak sekali tanda tanya besar.
Mulai dari sejak pendirian, sampai masuk BPPN, business-deal apa saja yang terjadi? Apakah juga apa campuran political-deal? Sampai sebelum rapat tahun 2008 di kantor Wapres dan setelahnya, Â bagaimana Honggo yang jadi Dirutnya menjalankan bisnis-model operasinya bersama Pertamina? Siapa-siapa saja yang terlibat? Bagaimana soal kabar burung adanya kilang pribadi di kawasan pabrik? Dan seterusnya.
Ini fenomena campur aduknya antara politik dan bisnis yang sudah kelewat batas kewajaran. Penguasa yang melakukan politik bisnis, atau sebaliknya pengusaha yang bisnisnya politik. Dimana demarkasi berbaurnya politik dengan bisnis?
Kalau tidak ada akhlak ya begini ini jadinya. Memang bisnis tidak bisa vakum dari politik, demikian pula sebaliknya. Maka moralitas para aktornya menjadi begitu imperatif. Vaclav Havel (mantan Presiden Cheko-Slovakia, yang juga seniman itu) menandaskan dalam 'Politik dan Hati Nurani' bahwa politik itu adalah moralitas dalam praktek. Kembali ke etika politik bagi para politisi dan etika bisnis bagi para pengusaha.
Jawaban dari banyak pertanyaan yang masih menunggu kepulangan Honggo itu bisa dipastikan tidak murni soal bisnis. Kemungkinan besar latar belakangnya justru politik bisnis dari para penggede.
Semoga Honggo bisa segera pulang (dipulangkan) dalam keadaan selamat dan sehat walafiat. Agar semua bisa jadi terang benderang. Bagus khan kalau terang?