Walah ribetlah...
Padahal model bisnis sesungguhnya ya amat sangat simple. Beli murah, lalu jual dengan harga lebih tinggi dari biayanya. Dapat marjin supaya untung.
Persoalan jadi ribet kalau kepentingan politik sempit sudah mengontaminasi. Biaya bisa jadi lebih tinggi dari harga jual. Kalau rugi, suruh negara yang tanggung. Kalau ketahuan biar pengusahanya yang jadi kambing hitam. Klasik.
Apalagi kalau urusan bisnisnya ada di Bilangan-Te. Banyak mata yang melototi.
TPPI sendiri didirikan tahun 1995 oleh Grup Tirtamas (pengusaha Al Nyoo, Hashim Djojohadikusumo dan Honggo Wendratno), lalu tahun 1998 terjadi krismon. Singkat cerita, masuk BPPN dan utang dikonversi jadi saham. Mayoritas miliknya pemerintah (Pertamina dan PPA).
Rupanya jalannya operasi perusahaan tidak mulus, buktinya sampai Pertamina mesti menyetop pasokan kondensatnya. Akibatnya TPPI pun mandeg.
Lalu terjadilah rapat di kantor Wapres JK tahun 2008 itu. Sehingga pasokan kondensat bisa berjalan lagi di awal 2009 sampai 2011.
Akibat ribut-ribut tadi, tahun 2015 Honggo Wendratmo (mantan Dirut TPPI) kabur (katanya ke Singapura). Sampai sekarang masih buron (DPO). Sedangkan Raden Priyono (mantan Kepala BP Migas) sudah di'aman'kan.
Awal tahun 2020 (Januari) kemarin berkas kasusnya dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat. Tentu saja Honggo tidak bisa dihadirkan, maka ia  diadili secara in-absentia.
Menyikapi itu, DPR-RI dalam rapat Komisi III bulan Februari lalu sempat mencecar kinerja Polri atas masih buronnya Honggo. Kabareskrim sekarang, Komjen Listyo Sigit yang ketempuhan warisan kasus ini, melaporkan:
"Dalam kesempatan ini, kami laporkan juga bahwa beberapa upaya untuk menghadirkan tersangka HW ini sudah kami lakukan karena kami juga menduga bahwa yang bersangkutan sampai saat ini bersembunyi di Singapura."