Apalagi dinamika sosial di dalam kelompoknya penipu atau pencuri. Dimana soal kepercayaan adalah sesuatu yang nisbi. Tak mungkin jadi pendasaran persatuan. Bagaimana mungkin bisa percaya pada penipu. Ini kontradiksi pemahaman lagi.
Paling banter dalam kelompok penipu seperti itu kohesivitasnya ditentukan oleh power, kekuasaan diktatorial seorang kepala mafia.
Ini pun rapuh sekali. Ada semacam 'expire-date' yang tidak jelas. Tanggal kadaluarsanya tidak tertulis, bisa kapan saja.
Ironisnya, walaupun reputasinya diakui oleh kalangan dunia hitam, mafia ini tetaplah ingin dipersepsi sebagai orang baik, jujur, dan bermartabat. Ia mencari pengakuan eksistensi dirinya di belahan dunia yang putih.
Ia ingin dipuja-puji oleh masyarakat yang polos. Aksi jilat pantat dari sesama gangster sama sekali tidak bermakna. Dan ini kontradiksi lagi.
Mengelola 'dusta bersama' dalam kelompok para pendusta ini jadi semacam 'mission-impossible'. Di dalamnya terlalu banyak kontradiksi, baik di aras pemahaman dan apalagi di praksisnya.
Repot berkwadrat-kwadrat, sampai tidak mungkin. Lintasan waktu historis yang produktif itu akan membongkar segala dusta bersama yang ada dalam suatu jaringan sosial. Basisnya terlalu rapuh.
Jadi gimana? Siapkah untuk mengelola 'dusta bersama' sebagai jalan sukses untuk korupsi? Kuat untuk berapa lama?
"Corruption is like a ball of snow, once it's set a rolling it must increase." -- Charles Caleb Colton.
06/06/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa