Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bail-out/Nasionalisasi Versi 2.0, Mungkinkah?

27 April 2020   16:59 Diperbarui: 27 April 2020   16:56 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prinsipnya BI diberi kewenangan membeli SUN dan SBSN jangka panjang di pasar perdana. Ini akan dilakukan dengan prudent, demi menjaga ketenangan pasar. Artinya bukan sebagai first-lender tapi sebagai last-lender manakala pasar tidak mampu menyerap. Baik karena jumlahnya atau lantaran suku bunga yang tinggi. BI bisa beli repo dari LPS apabila ada masalah di bank, sistemik maupun nonsistemik. Sumber pendanaan LPS ada berbagai opsi dan fleksibilitas.

Repo (repurchase agreement) adalah perjanjian antara dua belah pihak dimana pihak pertama meminjam sejumlah dana dari pihak kedua dengan jaminan aset keuangan tertentu, misalnya saham, obligasi, hingga surat utang negara.

Singkatnya, pemerintah sudah berjibaku mati-matian untuk menyelamatkan perbankan (dan nasabahnya) di tengah terpaan pandemi global Covid-19. Kita berharap jangan sampai pengorbanan ini sia-sia. Belajarlah dari pengalaman pahit di bail-out BLBI-BPPN versi 1.0 yang berantakan itu.

Kalau dulu banyak bank-bank swasta (dan bank BUMN juga?) yang cuma jadi kasir para konglomerat hitam. Sehingga dicurigai di meja direksinya bertumpuk proposal bisnis yang sudah di-mark-up sedemikian rupa untuk nanti di-side-streaming oleh kelompok bisnisnya sendiri. Maka yang terjadi sekarang justru pelaku-pelaku usaha UMKM dan swasta lainnya juga mengalami stagnasi.

Dampaknya bisa jauh lebih sistemik, bahkan diperkirakan beberapa tahun setelah pandemi Covid-19 ini berlalu.

Ada wacana yang sempat terdengar bahwa sekaranglah saatnya negara mengambil alih sentra-sentra produksi (alat-alat produksi/ perusahaan) swasta yang besar/menengah yang bisnisnya strategis (menyangkut hajat hidup orang banyak), dan yang sudah kepayahan menjalankan roda bisnisnya. Inilah saatnya state-capitalism berkiprah. Apa syaratnya?

Syaratnya ya tentu saja profesionalisme. Kementerian BUMN sendiri sebagai korporasi induk mesti siap. Kluster-kluster bisnis yang strategis mesti juga siap secara strukturasi dan agen-agennya.

Bukan cuma bail-out versi 1.0 yang telah dikorupsi habis-habisan, dan ujungnya pemain bisnis yang muncul ya itu-itu lagi. Mesti ada perombakan yang memberi kesempatan sebesar-besarnya rakyat, lewat institusi negara, berkiprah lebih signifikan dalam kancah perekonomian.

Bagaimana teknis dari bail-out BI menuju pemilikan negara (nasionalisasi) lewat BUMN ini perlu dipikirkan dan dijabarkan lebih matang dan cepat. Jangan sampai kehilangan momentum. Sebutlah ini bail-out/nasionalisasi versi 2.0 yang seyogianya bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Jika masih ada yang nekat KKN, kalau perlu kirim langsung ke hadapan regu tembak! Kasih kesempatan selfie dan cengengesan sebelum timah panas menembus badan.

Apa yang pernah disampaikan Menteri Erick Thohir, agar akhlak para pengelola BUMN ini betul-betul demi mengurus suatu badan usaha yang dimiliki negera, yang kemanfaatannya sebesar-besarnya untuk rakyat banyak. Bukan menganggap badan usaha ini milik nenek loe!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun