Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bail-out/Nasionalisasi Versi 2.0, Mungkinkah?

27 April 2020   16:59 Diperbarui: 27 April 2020   16:56 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Bail-Out/Nasionalisasi versi 2.0, Mungkinkah?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Bail-out/Nasionalisasi versi 1.0 (lewat skema BLBI-BPPN) yang lalu kita sudah tahu semua hasilnya: berantakan!

Hitungan sederhana saja, waktu itu Desember 1998 katanya duit negara (rakyat) yang digelontorkan untuk 'menyelamatkan' 48 bank nasional lantaran kredit macet sebesar Rp 147,7 trilyun. Kemudian terjadi penyelewengan besar-besaran, audit BPK tahun 2000 menemukan kerugian negara Rp 138,7 trilyun. Artinya 94%nya telah ditelan tuyul berambut hitam.

Pernah juga disampaikan oleh Peneliti ICW, Donal Fariz, bahwa problematika BLBI ini seperti benang kusut. Lantaran sedari awal, tahun 1998, negara mengeluarkan Rp 320 trilyun untuk 54 bank swasta, tapi apa yang terjadi? Dana yang kembali cuma Rp 27,2 trilyun. Alias 8,5% doang! Lha yang 91,5%nya kemana?

Penyebab terparahnya lantaran saat itu bank punya peran ganda. Main dua kaki. Selain intermediasi kapital, juga menjalankan fungsi akumulasi kapital bagi konglomerat hitam pemilik bank.

Walau angka-angka kerugian yang selama ini dilaporkan media agak beragam, janganlah terlalu diambil pusing. Angkanya tetap di bilangan trilyunan rupiah. Astaga-nagalah pokoknya.

Begitu krisis moneter menerjang, semuanya panik. Selidik punya selidik ternyata duitnya gak ada di bank, rekeningnya kosong melompong. Jebulnya duit nasabah lagi diputar di anak-anak perusahaan milik konglomerat hitam. Komplikasi deh... dan akhirnya stroke.

Seperti dilaporkan ICW, data audit BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 menyebut bank yang melakukan penyimpangan terbesar dana BLBI itu diantaranya BDNI (Sjamsul Nursalim) Rp24,47 trilyun, BCA (Salim Group) Rp15,82 trilyun, dan Bank Danamon (Usman Atmajaya) Rp 13,8 trilyun.

Jelas pelanggaran dan penyelewengannya terstruktur, sistematis dan massif. Pengalaman pahit yang tidak boleh terulang, apalagi rasa pahitnya masih belum hilang juga sampai sekarang. Bahkan setelah hampir 2 dekade berlalu ternyatalah kasus BLBI-BPPN ini seperti borok yang masih basah.

Pasalnya Syafruddin Arsyad Temenggung (mantan Kepala BPPN) yang dituduh bersalah lantaran tahun 2004 lalu memberikan SKL (surat keterangan lunas) buat Sjamsul Nursalim (BDNI). Padahal SKL itu mengacu pada Inpres No.8/2000 tanggal 30 Desember 2002 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Runyam memang, lantaran terlalu banyak benturan kepentingan yang tidak penting buat negara.

Bail-out ala BLBI-BPPN versi 1.0 diduga juga terlalu banyak 'invisible hands' yang cawe-cawe. Mulai di era akhir pemerintahaan Soeharto ke B.J.Habibie, lanjut ke Gus Dur sejenak, sampai ke masa pemerintahan  Megawati (setelah melengserkan Gus Dur). Berlanjut terus gak beres-beres selama 10 tahun periodenya SBY (2004 -- 2014), sampai akhirnya KPK menerima audit investigatif BPK tertanggal 25 Agustus 2017 di masa pemerintahan Joko Widodo.

Sebuah teater pertunjukan libido keserakahan yang menyisakan luka mendalam bagi perekonomian bangsa. Pemerintahan sekarang ketempuhan mesti bersih-bersih kotoran yang masih berserakan. Apakah masih ada konspirasi ala operasi semut merah versi kedua? Hmm... kita pantau saja terus.

Okelah, demikianlah latar belakang bail-out versi 1.0 yang berakhir dengan katastropi alias berantakan gak karuan. Niat awalnya untuk menyelamatan perbankan nasional yang ujungnya para nasabah (rakyat) juga. Namun sayang, niat yang bagus tidak dieksekusi dengan manajemen dan kepemimpinan yang bagus pula. Akhlaknya bobrok sekali waktu itu.

Sekarang situasi ekonomi nasional (bahkan global) juga sedang stagnan akibat serangan Covid-19. Perbankan terancam jebol NPL (non performing loan)-nya.

Sebabnya sudah kita pahami bersama, lantaran para nasabahnya juga sedang kelenger untuk bayar cicilan. Sedangkan untuk bayar karyawan saja kelabakan, boro-boro mikirin cicilan kredit perbankan.

Untuk para pemasok, banyak-banyaklah berdoa, mungkin minggu depan bisa dibayar sebagian. Kalau tidak bisa minggu depan, ya minggu depannya lagi, begitu seterusnya... sangat future oriented payment! Alias tarsok-tarsok payment-scheme. Payah memang...

Beberapa teman pengusaha ada bertanya dalam diskusi via tele-conference. Sampai kapan stagnasi ini berlangsung? Ada yang mengira sekitar kuartal akhir tahun, ada juga yang bilang kuartal awal tahun depan. Alias belum jelas. Pasalnya tak ada utusan virus Corona yang bisa diajak negosiasi.

Sementara itu, melihat ancaman lumpuhnya dunia usaha dan perbankan, kita hanya bisa bergumam, mungkin sampai 'the invisible hand of Covid-19' menyelesaikan misinya di kancah 'free-market capitalism' ini! ...lho? Misi apa? Mungkin misi penyadaran bahwa free-market capitalism itu juga utopis. Buktinya sekarang.

Ya, betapa tidak. Hampir semua pelaku usaha di pasar bebas (free-market) sekarang sedang berteriak minta tolong. Minta tolong pada siapa? Ya siapa lagi kalau bukan minta tolong ke negara.

Sekarang, tatkala dunia usaha swasta angkat-tangan, negaralah yang mesti turun-tangan. Siapa lagi?

Tak ada yang bisa disalahkan, pandemi Covid-19 ini menerjang dunia begitu saja. Tanpa permisi.

Beberapa kalangan kabarnya sudah mulai kasak-kusuk untuk minta negara mem-bail-out (ala BLBI-BPPN dulu) demi restrukturisasi utang. Ancaman NPL sudah di depan mata katanya.

Kalau dipikir-pikir memang dalam kondisi stagnasi total seperti ini kepada siapa lagi mesti berpaling. Negaralah satu-satunya harapan. Swasta boleh dibilang hampir (atau bahkan sudah) keok.

Donasi yang sifatnya karitatif memang banyak digalang oleh pengusaha swasta yang masih punya kemampuan.  Itu baik adanya, tapi sama-sama disadari bahwa yang sifatnya karitatif ya sukarela saja selama bersedia. Sampai kapan bersedianya? Ya sampai dana karitatifnya masih dikantong badan, apa lagi coba?

Dulu sempat disangka bahwa korporasi swasta dalam pasar bebaslah yang bakal paling berjaya. Negara hendaknya menepi saja, jangan terlalu banyak campur tangan, biarlah 'the invisible hand of capitalism' yang bekerja dengan sempurna.

Bahkan Bruce Piasecki (bukunya 'World Inc', Sourcebook Inc.,2007) pernah sesumbar, 'When it comes to solutions -- both local and global -- businesses are now more powerful than government. Welcome to World Inc.'

Namun apa lacur, sekarang seluruh dunia sedang berpaling ke pemerintahnya masing-masing. Dan masing-masing pemerintahnya pun dipaksa oleh situasi untuk duduk di depan layar tele-conference mencari solusi bersama bagi umat manusia. Tanpa memandang perbedaan asal-usul suku, agama, ras, dan antar-kepercayaan.

Mungkin thesis Ian Bremmer (bukunya 'The End of The Free Market: Who Wins the War Between States dan Corporations?', Portfolio,2010) yang jadi lebih relevan sekarang.

Dalam kesadaran yang muncul sebagai akibat dari krisis finansial dunia beberapa waktu lalu (ingat kasus Lehman Brothers, dll) dan resesi global yang mengikutinya, telah memaksa para pemimpin negara-negara demokrasi pasar bebas di dunia ini untuk berpikir ulang dengan sikap skeptis terhadap praktek free-market capitalism.

Seperti yang dicatat Ian Bremmer tentang pertanyaan yang diajukan wakil menteri luar negeri RRT, He Yafei, waktu itu, "Now that the free market has failed, what do you think is the proper role for the state in the economy?"

Pertanyaan yang terus menggema, apalagi dalam kondisi seperti sekarang ini.

Memang, BI sebagai bank sentral ditengarai punya kewenangan untuk mem-bail-out dengan dana talangan melalui LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Skemanya sudah ada di Perppu yang telah dikeluarkan pemerintah sehubungan dengan penyebaran Covid-19. Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Perry Warjiyo sudah pula menyampaikannya.

Prinsipnya BI diberi kewenangan membeli SUN dan SBSN jangka panjang di pasar perdana. Ini akan dilakukan dengan prudent, demi menjaga ketenangan pasar. Artinya bukan sebagai first-lender tapi sebagai last-lender manakala pasar tidak mampu menyerap. Baik karena jumlahnya atau lantaran suku bunga yang tinggi. BI bisa beli repo dari LPS apabila ada masalah di bank, sistemik maupun nonsistemik. Sumber pendanaan LPS ada berbagai opsi dan fleksibilitas.

Repo (repurchase agreement) adalah perjanjian antara dua belah pihak dimana pihak pertama meminjam sejumlah dana dari pihak kedua dengan jaminan aset keuangan tertentu, misalnya saham, obligasi, hingga surat utang negara.

Singkatnya, pemerintah sudah berjibaku mati-matian untuk menyelamatkan perbankan (dan nasabahnya) di tengah terpaan pandemi global Covid-19. Kita berharap jangan sampai pengorbanan ini sia-sia. Belajarlah dari pengalaman pahit di bail-out BLBI-BPPN versi 1.0 yang berantakan itu.

Kalau dulu banyak bank-bank swasta (dan bank BUMN juga?) yang cuma jadi kasir para konglomerat hitam. Sehingga dicurigai di meja direksinya bertumpuk proposal bisnis yang sudah di-mark-up sedemikian rupa untuk nanti di-side-streaming oleh kelompok bisnisnya sendiri. Maka yang terjadi sekarang justru pelaku-pelaku usaha UMKM dan swasta lainnya juga mengalami stagnasi.

Dampaknya bisa jauh lebih sistemik, bahkan diperkirakan beberapa tahun setelah pandemi Covid-19 ini berlalu.

Ada wacana yang sempat terdengar bahwa sekaranglah saatnya negara mengambil alih sentra-sentra produksi (alat-alat produksi/ perusahaan) swasta yang besar/menengah yang bisnisnya strategis (menyangkut hajat hidup orang banyak), dan yang sudah kepayahan menjalankan roda bisnisnya. Inilah saatnya state-capitalism berkiprah. Apa syaratnya?

Syaratnya ya tentu saja profesionalisme. Kementerian BUMN sendiri sebagai korporasi induk mesti siap. Kluster-kluster bisnis yang strategis mesti juga siap secara strukturasi dan agen-agennya.

Bukan cuma bail-out versi 1.0 yang telah dikorupsi habis-habisan, dan ujungnya pemain bisnis yang muncul ya itu-itu lagi. Mesti ada perombakan yang memberi kesempatan sebesar-besarnya rakyat, lewat institusi negara, berkiprah lebih signifikan dalam kancah perekonomian.

Bagaimana teknis dari bail-out BI menuju pemilikan negara (nasionalisasi) lewat BUMN ini perlu dipikirkan dan dijabarkan lebih matang dan cepat. Jangan sampai kehilangan momentum. Sebutlah ini bail-out/nasionalisasi versi 2.0 yang seyogianya bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Jika masih ada yang nekat KKN, kalau perlu kirim langsung ke hadapan regu tembak! Kasih kesempatan selfie dan cengengesan sebelum timah panas menembus badan.

Apa yang pernah disampaikan Menteri Erick Thohir, agar akhlak para pengelola BUMN ini betul-betul demi mengurus suatu badan usaha yang dimiliki negera, yang kemanfaatannya sebesar-besarnya untuk rakyat banyak. Bukan menganggap badan usaha ini milik nenek loe!

Manakala BUMN menjadi tiang utama (soko guru utama) perekonomian, bersama koperasi dan badan usaha milik swasta yang lebih menopang ekonomi kerakyatan (UMKM), maka eksploitasi potensi maritim, pertambangan, wisata, dan posisi geo-strategis serta ekonomi kreatif lainnya diharapkan bisa dieksploitasi seoptimal mungkin secara bertanggungjawab. Demi sebesar-besarnya kemaslahatan bangsa.

Tempalah besi sementara masih panas membara. Sekaranglah saatnya menempa struktur BUMN yang lebih profesional. Saat platform untuk perubahan menyeluruh sedang terbakar panas. Sekali lagi, no excuses, just do it!

Semua untuk Indonesia yang lebih baik. Itu saja.

27/04/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

Sumber:

satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun