Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Defisit APBN, Dividen BUMN, dan Etos Bisnis ala James Baker dan Jack Welch

19 April 2020   15:20 Diperbarui: 19 April 2020   17:46 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Defisit APBN, Dividen BUMN dan Etos Bisnis ala James Baker & Jack Welch*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

BUMN masih bisa dan mau setor dividen, bravo. Patut diacungi jempol ditengah stagnasinya banyak mesin ekonomi akibat Covid-19. Ini sedikit meringankan beban defisit APBN.

Akhir bulan Maret lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa penerimaan negara yang masih bisa tumbuh 7,7% itu salah satunya adalah kontribusi percepatan setoran dividen dari BUMN.

Keputusan mempercepat setoran dividen adalah pragmatisme yang perlu dalam konteks kekinian ekonomi makro Indonesia. Ini hanya situasional. Demi kepentingan yang lebih luas.

James A. Baker III adalah mantan menteri luar negeri Amerika Serikat. Dalam tulisannya berjudul, 'Business Ethics in Skeptical Times,' ia bilang:

"I am not a theorist, always being more inclined toward practicalities than reflection -- what people in Washington call a 'pragmatist.' To some, that's a dirty word. To me, it's not, as long as you're principled pragmatist -- because it doesn't do any good to have the greatest ideas in the world if you can't put them into action."

(Dimuat dalam buku yang diedit oleh Noel M. Tichy & Andrew R.McGill, 'The Ethical Challenge, How to Lead with Unyielding Integrity', Michigan 2003).

Etika utilitarian dan teleologis sekaligus, yang dipagari etika deontologis. Memang, sistem sosial-politik dan lingkungan bisnis dimana James Baker tinggal adalah kapitalisme dengan model pasar bebasnya.

Namun dalam semangat revisionisme ia telah berbaur dengan spirit keadilan sosial bagi seluruh rakyat Amerika Serikat. Semakin beda tipislah nampaknya dengan Pancasilanya kita.

Waktu James Baker menulis itu, masih hangat dalam ingatan publik soal skandal Enron dan beberapa korporasi besar lainnya di sana.

Mungkin ada juga relevansinya dengan apa yang terjadi di sini kalau kita menyinggung skandal Asabri, Garuda Indonesia, Jiwasraya, dan kosmetik pembukuan akuntansi ala beberapa BUMN maupun BUMS yang sudah go public.

Kita khan tidak mau berbagai skandal konyol semacam itu terulang lagi... dan lagi. Seperti tidak belajar dari keledai saja.

Jadi apa yang mesti dilakukan? James A. Baker III menyebutkan empat (4) hal yang mesti diingat dan jadi etos bisnis praktis.

Pertama, ingatlah bahwa 'all times are skeptical times'. Kedua, ia yakin bahwa 'free market capitalism is an ethical system'. Ketiga, ini prinsip moralnya, 'first, do no harm.' Dan keempat, selalu bertanya kepada diri sendiri, 'what we can do'. Ini bukan urutan, jadi kita bisa mulai dari mana saja.

What we can do? Apa yang bisa kita lakukan? Ini pertanyaan yang sangat pragmatis dan realistis dalam setiap kondisi. Pertanyaan yang selalu diajukan oleh orang bertipe progresif, berani dan optimis.

Skeptis tapi serentak juga bertanya apa yang bisa dilakukan?

Skeptis dalam definisi KBBI berarti kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dan sebagainya). Jadi skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan).

Kalau Thomas Friedman memandang skeptisisme sebagai sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu.

Seorang yang skeptis akan berkata: "Saya kira itu tidak benar. Saya akan menceknya." Maka skeptis lebih dekat ke sikap kritis. Beda dengan sikap pesimis.

Pesimis, dalam rumusan KBBI adalah orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik (kuatir kalah, rugi, celaka, dan sebagainya), mudah putus (tipis) harapan.

Lantaran sikap skeptisnyalah maka James Baker selalu jadi waspada, kritis, tak mudah dibohongi. Dalam persaingan bebas (free-market)  ala Amerika, permainan keras dan bahkan kasar kerap mewarnai percaturan dunia bisnis maupun politiknya.

Sikap skeptis dan kritis bisa jadi jurus ampuh untuk survive. Maka dari itu, James Baker bilang, bahwa 'all times are skeptical times', tapi tanpa lupa juga untuk sekaligus bertanya 'what we can do'. Suatu tegangan (tension) mental yang merangsang kreativitas dan produktivitas.

Saat ini Indonesia dan juga seluruh dunia sedang gundah gulana. Hampir semua warga dunia terpaksa mendekam di rumah masing-masing. Lockdown, atau isolasi diri, supaya bisa survive dari terjangan Covid-19.

Dunia bisnis lesu. Juga berimbas ke kinerja BUMN. Sampai-sampai dalam hitungan ekonom CORE (Center of Reform on Economics) Yusuf Rendy Manilet, setoran dividen BUMN ke kas negara tahun ini bakal turun, ada di kisaran Rp 30 trilyun sampai Rp 40 trilyun. Padahal targetnya Rp 49 trilyun.

Menteri BUMN Erick Thohir pun mengakui itu. Dan memproyeksikan setoran BUMN baru akan kembali normal nanti tahun 2022. Menyikapi itu, Menteri Erick katanya telah memetakan beberapa sektor BUMN yang kinerjanya ikut terpapar wabah virus corona.

Ada beberapa pola kinerja, tergantung jenis usahanya. Di sektor perbankan mungkin terjadi peningkatan NPL (Non Performing Loan) walau secara umum kinerjanya masih lumayan. Di PLN dan Pertamina terdampak di arus kas lantaran pelemahan kurs. Di sektor pariwisata dan transportasi ada penurunan kinerja akibat orang berhenti piknik.

Sementara itu terindikasi bahwa kontribusi dividen terbesar masih disumbang oleh Telkom. Bahkan dengan maraknya WFH (work from home), traffic data pengguna jadi meningkat.

Harga komoditas yang menurun terus berdampak pada PTBA (PT Bukit Asam Tbk) di sektor pertambangan, utamanya batu-bara. BUMN bidang konstruksi masih wait-and-see, tergantung berapa lama proses recovery bakal berlangsung. Sampai proyek infrastruktur bisa berjalan normal kembali, yang harapannya mulai pulih pada kuartal IV-2020. Ya semoga saja.

Itulah gambaran realistis bisnis atau dunia kapitalis ala Indonesia. Diwakili oleh sistem kapitalisme-negara lewat BUMN kita. Situasinya sedikit banyak mirip dengan apa yang dialami BUMS bahkan UMKM juga. Gambaran umumnya hampir serupa, order sepi dan cash-flow terganggu.

Ya, 'all times are skeptical times'. Kalau saja dari dulu kita waspada dan oleh karena itu telah lebih siap dengan mekanisme cadangan dana darurat, tentu bantalan pengaman jadi lebih kuat. Tapi jangan pesimis. Pengalaman adalah guru terbaik. Lain kali mesti sedia payung sebelum hujan.

Sekarang kita mesti ajukan pertanyaan pragmatisnya, 'what we can do'? Namun tetap dalam kerangka 'first do no harm' sebagai prinsip moral.

Prinsip 'no harm', intinya jangan menyakiti orang lain seperti kita juga tidak mau disakiti. Atau perlakukanlah sama seperti kita juga mau diperlakukan.

Walau dalam keterseokannya akibat prahara Covid-19, toh kenyataanya BUMN masih bisa setor dividen ke kas negara (APBN). Lumayanlah, salut juga.

Lalu 'what we can do' untuk memperkuat otot BUMN selanjutnya? Supaya BUMN ini langgeng dan bisa setor dividen lebih banyak lagi nantinya ke kas negara.

Masa krisis selalu adalah momen terbaik untuk melakukan suatu perubahan. Bahkan yang radikal sekali pun. Kondisinya kondusif, paling tidak secara mental sudah ada kepasrahan, change or die.

Dari 142 perusahaan di bawah naungan Kementerian BUMN, termasuk 800-an anak dan cucu perusahaannya jelas mesti dipetakan. Disegmentasi mana yang kontributif, mana yang masih potensial dan mana yang sudah impoten. Ini kerja besar, kategorinya urgent and important. Genting dan penting serentak.

Artinya mesti segera dipilah dan dipilih mana yang masih menghasilkan pemasukan untuk negara, dan mana yang cuma menggerogoti APBN tanpa harapan untuk sembuh dari impotensinya.

Ternyata, menurut Menteri Erick, hanya 10% BUMN saja yang siap dan dinilai masih ada kemampuan berdiri sendiri dan berkontribusi.

Sedangkan 90% lainnya terbagi lagi, ada yang di kategori BDPP (BUMN Dalam Pemantauan dan Perawatan), alias ada harapan bisa berdiri tegak walau perlu bantuan. Dan ada juga yang sudah BTHH (BUMN Tanpa Harapan Hidup), lemas total tak mampu berdiri lagi. Mengecewakan lahir batin, ini bisa merusak rumah tangga.

Yang terakhir ini ibaratnya tinggal menunggu dicabut selang infusnya. Selama ini ternyata gizi untuk bertahan hidupnya cuma mengandalkan aliran dari kantung infus APBN.

Yang kategori BTHH (BUMN Tanpa Harapan Hidup) seperti ini bisalah segera dibereskan. Segera itu artinya ya segera... kalau bisa dari kemarin! Ini cuma parasit, mirip virus Corona, sekedar numpang hidup sambil menebar toxic petantang-petenteng.

Yang kategori BDPP (BUMN Dalam Pemantauan dan Perawatan) mesti dipilah dan dipilih mana yang model-bisnisnya masih bakal kontributif di era persaingan global.

Katanya ada sekitar 68 - 70% yang perlu dikonsolidasikan. Maka segeralah dimerger, dan sisa lemaknya dijadikan bahan bakar saja. Likuidasi untuk memperkuat posisi kas.

Kita jadi ingat Jack Welch, Chairman GE Group yang legendaris itu. Tangannya dingin dan keras seperti besi tatkala melakukan konsolidasi banyak dari perusahaannya di lingkungan GE. Termasuk anak dan cucu perusahaannya di seantero bumi. Spektrumnya jelas jauh lebih luas dan pelik.

Bongkar pasang organisasi dilakoninya tanpa pandang bulu, dan tanpa tedeng aling-aling. Setiap CEO di lingkungan GE mesti memaparkan Business Plan-nya di GEMDI (GE Management Development Institute) di Crotonville. Mereka dituntut untuk mampu menjawab tantangan Jack Welch, bagaimana bisa jadi nomor 1 atau nomor 2 di dunia?

Game-plan ala Jack Welch ini adalah juga suatu blitz-krieg, perang kilat, tidak buang waktu. Seperti besi yang lebih mudah ditempa saat masih panas membara. No excuse, jangan banyak cincong dan alasan macam-macam. No bull-shit. Just do it!

Mungkin pola game-plan serupa bisa mulai diaplikasikan di BUMN kita. Minta saja masing-masing CEO untuk paparkan business-plan yang menantang. Ini suatu cara untuk merestrukturisasi organisasi mulai dari kepalanya.

Kalau dulu Jack Welch hanya kasih 3 pilihan/alternatif. Presentasi business plan diterima oleh komite, atau masih dikasih kesempatan revisi, atau ditolak. Konsekuensi terhadap masing-masing anak perusahaannya pun ada tiga: fix, sell or close.

Kalau ada harapan bisa diperbaiki akan diperkuat terus dalam kelompok GE (fix). Kalau tidak ada harapan atau tidak ada kecocokan dengan misi-visi GE tapi masih ada nilainya ya dijual (sell), keluar dari kelompok GE. Tapi kalau cuma merongrong doang selama ini dan tidak ada yang mau beli, ya ditutup (close), lalu jual asetnya macam jualan besi tua. Habis perkara, lalu move on.

Besar harapan kita agar BUMN sebagai aktor utama dalam kapitalisme oleh negara bisa jadi lokomotif perekonomian bangsa. Demi distribusi keadilan sosial yang lebih merata. Saat inilah kesempatan perubahan besar-besaran.

Tangan dingin dan tangan besi itu perlu saat perubahan radikal di masa krisis. No basa-basi. Just do it!

19/04/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

Sumber:

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun