The reason he is not there is that he has been condemned to death on a charge of impiety and corrupting the young; the cause of his death was even more distressing for those who loved him than the death itself."
Lalu Prof.Myles Burnyeat menyinggung Plato dan mengemukakan interpretasinya tentang Sokrates,
"He had a lot of devoted followers and some of them, amongst them Plato, began writing Socratic dialogues: philosophical conversations in which Socrates takes the lead. It must have been like a chorus of voices saying to the Athenians, 'Look, he's not gone after all. He's still here, still asking those awkward questions, still tripping you up with his arguments.'
And of course these Socratic dialogues were also defending his reputation and showing that he had been unjustly condemned: he was the great educator of the young, not the great corrupter."
(Berdasarkan wawancara di BBC Television yang dibukukan oleh Bryan Magee, The Great Philosophers: An Introduction to Western Philosophy, Oxford 1987)
Ada yang benci pada Ahok, tapi juga ada yang rindu. Paralel dengan Sokrates dulu, ada yang bencinya sampai ke ubun-ubun bahkan tega memfitnah sampai ia dihukum mati. Tapi ada juga yang menyayanginya, lalu menulis tentang ajarannya. Itu membuat nama Sokrates diingat publik dan dimuliakan sejarah.
Waktu historis itu memang produktif, ia akan mencari kebenarannya sendiri. Apa yang merupakan keutaman (virtues) akan terposisikan mulia. Sementara yang jahat (evil) akan tertoreh dalam catatan yang hitam kelam.
Dalam peristiwa kontemporer, kita pun mengamati para aktor yang sedang memainkan perannya masing-masing, juga konstelasinya. Mana yang genuine, dan mana yang imitasi.
Sejarah terus mencatatnya, dan semua akan terkuak pada saatnya.
16/04/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa