Kita kilas balik sejenak. Tentu yang dimaksud dengan negara-negara maju dulu kebanyakan adalah negara-negara barat (Eropa Barat dan Amerika Serikat, Kanada). Lalu Jepang dan Korea Selatan akhirnya toh berhasil naik kelas juga.
Setelah kalah di Perang Dunia kedua, Jepang memperoleh bantuan (pinjaman) yang banyak juga. Begitu pun Korea. Lalu apakah Tiongkok tidak memperoleh pinjaman pada awal pembangunannya pasca Tiananmen? Tentu saja dapat.
Lalu apa persoalannya? Apakah Jepang, Korea dan Tiongkok lalu terjerembab dalam skema debt-trap? Ini pertanyaan yang mesti direnungkan dan dijawab oleh para perancang dan pelaksana pembangunan. Bahkan oleh seluruh partisipan pembangunan.
Dalam berbagai bacaan tentang teori pembangunan, kabarnya ada 3 (tiga) aspek penyebab sebuah negara bisa lepas jadi kungkungan status negara miskin (poor countries) atau negara gagal (failed countries).
Aspek pertama adalah: Institusi. Aspek kedua adalah: Kultur. Dan aspek ketiga adalah: Kondisi geografisnya. Dari ketiganya yang paling menentukan adalah institusinya. Karena implikasi dari disiplin jalannya institusi atau lembaga-lembaga negara/pemerintahan akan membentuk kultur, dan begitu timbal balik seterusnya. Sedangkan aspek kondisi geografis hanyalah bonus.
Kultur yang terbentuk adalah kultur yang kondusif. Seperti kerja keras yang spartan, pola hidup hemat, ada tabungan (saving), menghargai tata-krama kehidupan sosial, mental yang disiplin ikut aturan, tidak bermentalitas terabas, tidak ada korupsi berjamaah yang jika terciduk malah ketawa-ketiwi nyengir kuda. Harus ada rasa tahu malu, lantaran social-control pun efektif.
Pendekatan institusional yang dimaksud adalah berjalannya lembaga-lembaga negara (pemerintahan) di suatu negara. Kantor-kantor kementerian, sampai kelurahan dan desa. Parlemen dan lembaga-lembaga penegakan hukum/keadilan.
Berjalannya dengan baik dan benar. Relatif bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Semata berorientasi pada profesionalisme dan meritokrasi. Juga bebas jebakan SARA yang banyak menyunat potensi bangsa untuk berkontribusi optimal.
Kita kembali ke soal kekuatiran akan debt-trap dari Tiongkok terhadap kita di Indonesia.
Nampaknya yang dimaksud dengan 'debt-trap diplomacy' itu lebih merupakan istilah yang agak sinis dalam rangka mengritisi Tiongkok yang agresif menyalurkan kelebihan likuiditasnya. Kelihatannya ada semacam paranoid di situ.
Agresivitas Tiongkok dalam menebar hutang bukan saja kepada Indonesia, juga terhadap banyak negara, bahkan termasuk ke Amerika Serikat yang dulu menjadi bohirnya.