Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Para Pejabat Kita?

3 April 2020   20:37 Diperbarui: 3 April 2020   21:18 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Ada Apa Dengan Para Pejabat Kita?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Speechless... mau bilang apa lagi? Pihak yang semestinya membubarkan orang-orang yang lagi kumpul-kumpul semasa darurat Covid19 ini malahan sendirinya menyelenggarakan kerumunan massa.

Bikin pesta perkawinan di hotel mewah, mengundang banyak orang, dan Wakapolri pun hadir! Walahhh... yang bubar malah kebijakan dan perintah atasannya.

Sudah tidak perlu dinasehati lagi, sudah terlalu banyak. Lagi pula ini Kapolsek dan atasannya Wakapolri lho... perwira! Duh...

Baru saja usulan Menhumkam untuk membebaskan napi korupsi menuai kritik tajam. Lantaran alasan takut terjangkit dan menularkan virus Coronna dianggap terlalu naif. Ini ada lagi ulah pimpinan KPK.

Sementara ada beberapa wakil rakyat di parlemen yang menyumbangkan gaji bulanannya untuk sumbangan sembako bagi warga, terdengar berita pimpinan KPK minta naik gaji! Yaoloohh...

Dimana rasa malu?

Masih teringat joke jaman orba dulu,

alkisah, waktu itu mau ada pernikahan putra sang penguasa. Maka bertanyalah sang ratu kepada calon mempelai putri atau calon menantunya, "...nak sebagai hadiah pernikahan, kamu mau ibu berikan apa?"

Belum lagi dijawab, sang ratu menyambung, "...apa kamu mau villa di Puncak? atau mobil mercy keluaran terbaru? Atau kamu lebih suka deposito aja?"

Lalu sambil merunduk tersipu, sang putri calon menantu menjawab lirih, "...mmm ...anu...mau apa ya, aduh, malu ah."

Mendengar itu, langsung sang ratu merangsek, "...eh jangan itu! Kamu boleh minta apa saja, tapi jangan minta malu. Kita punya semuanya, kecuali malu! Cuma itu yang keluarga kita tidak punya."

Katanya dulu di taman firdaus manusia tak kenal rasa malu. Gara-gara Siti Hawa berbuat dosa (melawan kehendak Allah) dengan nekad makan buah terlarang, akibatnya ia jadi tahu bahwa dirinya telanjang. Maka ia pun malu. Malu di hadapan Allah.

Malu adalah perasaan, emosi atau kondisi akibat ada tindakannya yang ingin ditutupi. Secara naluriah tentu ingin menyembunyikan kesalahan dirinya dari orang lain. Perasaannya tak nyaman jika perbuatannya diketahui publik. Ia takut ditelanjangi.

Tapi, manakala jaringan rumit sosiologis sudah sedemikian blak-blakannya dengan praktek korupsi, maka tindakan korupsi pun sudah dianggap biasa-biasa saja. Sudah sewajarnya. Tahu sama tahu, tempe sama tempe.

Justru kalau tidak ambil kesempatan korupsi malah dianggap tidak wajar. Semua juga korupsi kok, begitulah 'argumentum ad populum' yang selalu digaungkan sebagai justifikasi.

Suatu patologi sosial yang sangat akut. Lantaran penyakit sosial ini sudah kronis dan dibiarkan saja bertahun-tahun. Tanpa kritik berarti dan tanpa tindakan hukum yang tegas dan tuntas. Kontrol sosial pun ikut-ikutan lumpuh.

Para pejabat kita boleh dibilang sudah memiliki segalanya. Jenjang pendidikannya lengkap (asumsinya juga ada kecerdasan itu), dan punya harta kekayaan (asumsi juga ada rasa kecukupan disitu). Jadi apa lagi?

Ya tinggal budi pekerti. Integritas, kejujuran, solidaritas, kepedulian, ketekunan, kerajinan, kegigihan, dan seterusnya, pokoknya segala keutamaan (virtues) semacam itu.

Tak usah panjang lebar diterangkan lagi. Itu semualah yang sesungguhnya menjadi pilar kokoh budaya luhur. Selain dari itu hanya kemerosotan budaya.

Ada degradasi dari batas-batas yang pernah diyakini ada dan harus dihormati bersama. Kalau norma hukum (keadilan) adalah panglima, mengapa sekarang politik kerap mengintervensi hukum?

Kalau politik sampai kurang ajar mengintervensi hukum, maka kejernihan hukum dan rasa keadilan telah dikudeta oleh kepentingan dan kelihaian dari para politikus kotor.

Sementara itu, paham konsumerisme yang mengidolakan citra semata telah menipiskan apresiasi terhadap keutamaan-keutamaan manusia yang sejati. Imagologi, hukum permainan citra, kepalsuan dan topeng lebih dipuja ketimbang esensi atau sesuatu yang sifatnya lebih substansial.

Maka gengsi dong kalau pejabat menikah tanpa fanfare, tanpa kemeriahan dan puja-puji dari para undangan. Show of force. Kerumunan mesti didatangkan demi adanya pemujaan terhadap citra yang ingin ditunjukkan. Sebuah teater kekonyolan.

Ini semua berkelindan dalam jaringan sosiologi massa di masa kini. Jaringan permainan citra (pencitraan) yang dipicu dan memicu kembali budaya konsumsi (konsumerisme), membuat politik jadi sekedar olah raga adu kepentingan yang memaksanya untuk melompati pagar-pagar hukum.

Lantaran pasal-pasal hukum telah jadi barang dagangan, maka aktivitas transaksi-transaksi hukum yang dicomblangi pengacara pun memadati cafe dan night-club di bilangan kota.

Politik dipahami sebagai politik kekuasaan. Soal kesejahteraan hidup bersama itu cuma perlu sebagai jargon semasa kampanye.

Hukum adalah barang dagangan, pasal per pasal adalah komoditi jualan yang ditawarkan di etalase meja pengadilan, persis di bawah palu hakim. Perkara membela keadilan itu hanyalah sekedar motto yang ditempel di emblem, supaya tampilannya keren dan dihormati satpam saat berangkat atau pulang dari kantor.

Ada apa dengan para pejabat kita? Kok seperti tinggal di garis fatamorgana, tak jelas lagi antara yang real dengan yang fantasi. Ataukah yang fantasi itu bagi mereka adalah real?

"Sometimes people don't want to hear the truth, because they don't want their illusions destroyed." -- Friedrich Nietzsche

03/04/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

Sumber:

https://makassar.tribunnews.com/2020/04/03/hadiri-resepsi-kompol-fahrul-sudiana-dan-rica-andriani-wakapolri-membangkang-maklumat-kapolri

https://www.liputan6.com/news/read/4217844/fakta-kapolsek-kembangan-dimutasi-karena-gelar-pernikahan-di-tengah-wabah-corona

https://medan.tribunnews.com/2020/04/02/ternyata-wakapolri-eddy-pramono-hadir-di-pernikahan-kapolsek-kembangan-selebgram-cantik

https://www.inews.id/news/megapolitan/5-fakta-fahrul-sudiana-kapolsek-kembangan-dicopot-karena-menikah-saat-corona

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun