Kalau politik sampai kurang ajar mengintervensi hukum, maka kejernihan hukum dan rasa keadilan telah dikudeta oleh kepentingan dan kelihaian dari para politikus kotor.
Sementara itu, paham konsumerisme yang mengidolakan citra semata telah menipiskan apresiasi terhadap keutamaan-keutamaan manusia yang sejati. Imagologi, hukum permainan citra, kepalsuan dan topeng lebih dipuja ketimbang esensi atau sesuatu yang sifatnya lebih substansial.
Maka gengsi dong kalau pejabat menikah tanpa fanfare, tanpa kemeriahan dan puja-puji dari para undangan. Show of force. Kerumunan mesti didatangkan demi adanya pemujaan terhadap citra yang ingin ditunjukkan. Sebuah teater kekonyolan.
Ini semua berkelindan dalam jaringan sosiologi massa di masa kini. Jaringan permainan citra (pencitraan) yang dipicu dan memicu kembali budaya konsumsi (konsumerisme), membuat politik jadi sekedar olah raga adu kepentingan yang memaksanya untuk melompati pagar-pagar hukum.
Lantaran pasal-pasal hukum telah jadi barang dagangan, maka aktivitas transaksi-transaksi hukum yang dicomblangi pengacara pun memadati cafe dan night-club di bilangan kota.
Politik dipahami sebagai politik kekuasaan. Soal kesejahteraan hidup bersama itu cuma perlu sebagai jargon semasa kampanye.
Hukum adalah barang dagangan, pasal per pasal adalah komoditi jualan yang ditawarkan di etalase meja pengadilan, persis di bawah palu hakim. Perkara membela keadilan itu hanyalah sekedar motto yang ditempel di emblem, supaya tampilannya keren dan dihormati satpam saat berangkat atau pulang dari kantor.
Ada apa dengan para pejabat kita? Kok seperti tinggal di garis fatamorgana, tak jelas lagi antara yang real dengan yang fantasi. Ataukah yang fantasi itu bagi mereka adalah real?
"Sometimes people don't want to hear the truth, because they don't want their illusions destroyed." -- Friedrich Nietzsche
03/04/2020
*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa