Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Para Pejabat Kita?

3 April 2020   20:37 Diperbarui: 3 April 2020   21:18 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu sambil merunduk tersipu, sang putri calon menantu menjawab lirih, "...mmm ...anu...mau apa ya, aduh, malu ah."

Mendengar itu, langsung sang ratu merangsek, "...eh jangan itu! Kamu boleh minta apa saja, tapi jangan minta malu. Kita punya semuanya, kecuali malu! Cuma itu yang keluarga kita tidak punya."

Katanya dulu di taman firdaus manusia tak kenal rasa malu. Gara-gara Siti Hawa berbuat dosa (melawan kehendak Allah) dengan nekad makan buah terlarang, akibatnya ia jadi tahu bahwa dirinya telanjang. Maka ia pun malu. Malu di hadapan Allah.

Malu adalah perasaan, emosi atau kondisi akibat ada tindakannya yang ingin ditutupi. Secara naluriah tentu ingin menyembunyikan kesalahan dirinya dari orang lain. Perasaannya tak nyaman jika perbuatannya diketahui publik. Ia takut ditelanjangi.

Tapi, manakala jaringan rumit sosiologis sudah sedemikian blak-blakannya dengan praktek korupsi, maka tindakan korupsi pun sudah dianggap biasa-biasa saja. Sudah sewajarnya. Tahu sama tahu, tempe sama tempe.

Justru kalau tidak ambil kesempatan korupsi malah dianggap tidak wajar. Semua juga korupsi kok, begitulah 'argumentum ad populum' yang selalu digaungkan sebagai justifikasi.

Suatu patologi sosial yang sangat akut. Lantaran penyakit sosial ini sudah kronis dan dibiarkan saja bertahun-tahun. Tanpa kritik berarti dan tanpa tindakan hukum yang tegas dan tuntas. Kontrol sosial pun ikut-ikutan lumpuh.

Para pejabat kita boleh dibilang sudah memiliki segalanya. Jenjang pendidikannya lengkap (asumsinya juga ada kecerdasan itu), dan punya harta kekayaan (asumsi juga ada rasa kecukupan disitu). Jadi apa lagi?

Ya tinggal budi pekerti. Integritas, kejujuran, solidaritas, kepedulian, ketekunan, kerajinan, kegigihan, dan seterusnya, pokoknya segala keutamaan (virtues) semacam itu.

Tak usah panjang lebar diterangkan lagi. Itu semualah yang sesungguhnya menjadi pilar kokoh budaya luhur. Selain dari itu hanya kemerosotan budaya.

Ada degradasi dari batas-batas yang pernah diyakini ada dan harus dihormati bersama. Kalau norma hukum (keadilan) adalah panglima, mengapa sekarang politik kerap mengintervensi hukum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun