Berselancar di atas wabah Covid19, alasan aneh-aneh mulai disemprotkan ke ruang publik. Wacana apa lagi ini? Agenda apa sih di belakangnya? Alasan kemanusiaan? ...ah masa?
Korupsi adalah pembusukan kemanusiaan itu sendiri. Suatu tindak kejahatan pada kemanusiaan. Korupsi adalah 'extraordinary crime', kejahatan luar biasa.
Pada satu kutub ekstrim yang super-keras adalah seperti kebijakan di Tiongkok. Kita bisa saja berdebat tentang mengapa Tiongkok sampai tega mengikat para koruptornya di tiang eksekusi berhadapan dengan regu tembak.
Di kutub ekstrim lainnya yang super-lembek, para penjahat kemanusiaan dan pembusuk masyarakat ini cuma secara formal saja ditahan. Tinggalnya pun bisa di sel mewah, bahkan kabarnya bisa keluyuran di luar rutan. Bisa dapat keringanan hukuman, dan sekarang mau dibebaskan. Takut mereka ketularan dan mati.
Nampaknya kita di Indonesia -- teoritis -- tidak mau ambil jalan ekstrim seperti di dua kutub itu. Walau pada prakteknya, semua sudah tahu sama tahu, bahwa kutub super-lembeklah yang terjadi disini. Walahuallam.
Jalan tengahnya bagaimana?
Barusan juru bicara PSI (Partai Solidaritas Indonesia) bidang hukum, Rian Ernest, menyatakan menolak koruptor dibebaskan lantaran tindakan yang telah mereka perbuat itu luar biasa zalimnya kepada rakyat.
Dia bilang, "Kejahatan korupsi tidak sama dengan maling ayam atau pengguna narkoba. Jadi harus beda juga penindakannya, bahkan pemenjaraannya."
Jubir PSI itu menyoroti apa alasan Yasonna Laoly untuk membebaskan para napi korupsi itu. Apakah kondisi penjara yang sudah penuh? Rentan terjangkit Covid19? Maka demi alasan kemanusiaan lebih baik lebih cepat dibebaskan? Terlalu sumir.
Memang kondisi penjara kita sangat memuakkan, sama memuakkannya dengan perilaku para koruptor. Menjijikkan.
Jeleknya kondisi penjara kemungkinan besar juga disebabkan dana atau anggaran untuk memperbaikinya tidak ada atau tidak cukup. Kenapa tidak ada atau tidak cukup dananya?