Di dalam kitab Genesis diceritakan juga bahwa manusia pertama itu menamai segala sesuatu yang dihadirkan Allah di hadapannya. "Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya..."
Luar biasa, manusia gambaran Allah adalah cendekiawan, kaum intelegensia. Yang memberi nama-nama (bahasa) kepada semua. Mengartikulasikan realitas dalam bahasa. Bahasa yang bersauh pada realitas. Tanpa manipulasi, tanpa kebohongan.
Karena kebohongan memang berbahaya. Tatkala bahasa sudah tidak bisa merepresentasikan realitas, dan digunakan secara semena-mena tanpa aturan logis maka hancurlah komprehensi, pemahaman utuh, akal sehat, kewarasan. Pendeknya, tak ada lagi pemikiran, karena berpikir adalah membahasakan realitas.
Saya berpikir, maka saya ada (cogito ergo sum) kata Rene Descartes. Pemikiranlah yang membuktikan eksistensi atau keberadaan kita sebagai manusia. Tanpa itu, gelap, tiada.
Hari Minggu ini bacaan dalam Misa adalah tentang Taman Firdaus, kejatuhan manusia dalam dosa (gara-gara kena hoaks iblis). Lalu ada juga kisah Yesus (Nabi Isa) yang dalam masa puasaNya juga diganggu iblis.
Iblis masih nekat coba-coba menggoda Yesus dengan strategi hoaks-nya. Bahkan iblis pun berani kurang ajar dengan mengutip-ngutip ayat dalam upayanya mengelabui Nabi Isa.
Pertama dengan godaan harta, lalu iming-iming soal kekuasaan, dan akhirnya uji kesombongan. Mengenai ini ada tertulis di kitab Injil Lukas pasalnya yang keempat.
Iblis tak segan-segan untuk mengutip ayat suci. Dan tentang soal mengutip-ngutip ayat secara serampangan dengan dibumbui berita editan kita jadi teringat peristiwa-peristiwa kontemporer, dalam konstelasi sosial-politik kita sekarang.
Pembohongan publik, Â politik uang, Â korupsi, Â konspirasi bancakan uang rakyat, Â dan sejenisnya. Semua itu bentuk-bentuk kejahatan penipuan, pengelabuan.
Rupanya peristiwa serupa sudah ada studi kasusnya dahulu di masa kejatuhan manusia ke dalam dosa. Hoaks, menebar kabar bohong demi ambisi harta, kuasa dan kesombongan adalah kerjaan utama iblis. Sejak awal mula.
Lalu bagaimana?