Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Dulu di taman firdaus kabarnya manusia tak kenal rasa malu. Gara-gara Siti Hawa berbuat dosa (melawan kehendak Allah) nekat makan buah terlarang, akibatnya ia tahu bahwa ia telanjang. Dan ia pun malu. Malu di hadapan Allah.
Malu adalah perasaan, emosi atau kondisi akibat tindakannya yang ingin ditutupinya. Pemalu (penyandang rasa malu) secara naluriah tentu ingin menyembunyikan kesalahan dirinya dari orang lain. Perasaannya tak nyaman jika perbuatannya diketahui publik. Ia takut ditelanjangi.
Rasa malu dapat terjadi di mana saja. Dimensinya pun multi: psikologis, teologi, filosofis, dan sosiologis. Katanya ada dua kategori rasa malu. Disgrace shame, yaitu rasa malu berhubungan dengan 'merasa terhina', terusik kehormatan atau harga dirinya. Dan Discretionary shame, rasa malu yang terkait dengan kesopanan, etiket pergaulan.
Tentu keduanya diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan yang memalukan. "Jangan malu-maluin keluarga ya!" begitu kata orang tua kita selalu.
Para pemikir jaman pencerahan misalnya Thomas H. Burgess, Charles Darwin, Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky, dan khususnya Nietzsche, percaya bahwa manusia secara kodrati memang memiliki rasa malu, dan ini positif dalam membangun relasi sosial. Sejauh proporsional tentunya.
Rasa malu berfungsi menetapkan garis demarkasi sosial yang tepat. Gunanya untuk mencegah invasi liar yang menyerbu dan melanggar kehormatan dan integritas pihak lain. Ada etika sosial disitu.
Tinjauan psikologi dan antropologi mengatakan bahwa rasa malu merupakan emosi dasar manusia yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa sombong, dan kesadaran akan diri sendiri. Namun kelanjutannya, rasa malu yang tidak pada tempatnya bisa menjebak manusia kepada depresi dan sikap anti-sosial.
Katanya orang yang mengalami rasa malu berat, artinya dia mengalami konflik internal di dalam dirinya. Konflik internal ini terjadi tatkala ia melakukan negosisasi nilai antara kenyataan dan naluri. Kalau ada diskrepansi atau ketidakselarasan antara naluri dan kenyataan, maka terjadi konflik, akibatnya timbul rasa malu.
Dampak rasa malu bisa bikin orang jadi mudah marah, ngambek, ngomel, sampai akhirnya mencaci-maki.
Sang Pemalu (penyandang rasa malu) cenderung kehilangan percaya diri dan akhirnya menarik diri dari lingkungan. Orang juga bisa menutupi rasa malunya dengan bersikap narsis, sikap cinta diri yang berlebihan. Semacam pemberhalaan diri sendiri. Ini sesungguhnya adalah sikap eskapisme, pelarian diri. Takut malu.
Ketakutan sebenarnya adalah suatu tanggapan emosi terhadap ancaman. Dalam hal ini adalah ancaman rasa malu.
Takut adalah suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang terjadi sebagai respons terhadap stimulus tertentu, seperti rasa sakit atau ancaman bahaya.
Ketakutan agak beda dengan kegelisahan walau keduanya memang dekat. Ketakutan terkait dengan perilaku spesifik untuk melarikan diri dan menghindar, sedangkan kegelisahan adalah akibat dari persepsinya terhadap ancaman yang tak dapat dikendalikan atau dihindarkannya.
Ketakutan maupun khawatiran adalah akibat dari persepsinya akan adanya kondisi yang tidak ia sukai. Namun di lain pihak ia tidak mampu menghindarinya (bisa karena usia atau kelemahan/kekurangan lainnya).
Mitigasi rasa takut adalah dengan pengetahuan dan dengan menjalin dukungan dan hubungan, diplomasi dengan pihak pihak yang dipercaya dan dibutuhkan. Membangun sebuah struktur kemampuan dan manajemen antisipasi juga membangun sebuah struktur perisai.
Rasa malu mengakibatkan ketakutan. Takut malu, yang ekspresinya bisa jadi gampang marah, ngomel demi melawan situasi eksternal sambil menutupi realitas internalnya.
Kemarahan (wrath, anger), adalah suatu emosi yang secara fisik (psikosomatik) Â mengakibatkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, adrenalin dan noradrenalin.
Ekspresi luar dari kemarahan dapat ditemukan dalam bentuk raut muka, bahasa tubuh, respons psikologis, dan kadang-kadang tindakan agresi publik.
Bersuara keras, caci-maki, pamer taring atau melotot adalah ciri fisikal kemarahan. Marah adalah suatu pola perilaku yang dirancang untuk memperingatkan pengganggu agar menghentikan perilaku mengancam mereka.
Para ahli psikologi menunjukkan bahwa orang yang marah gampang bikin salah, karena ia kehilangan kemampuan pengendalian diri dan tidak bisa lagi melakukan penilaian objektif. Kemarahan juga bisa digunakan sebagai strategi manipulasi untuk pengaruh sosial.
Yang jelas, kemarahan yang tak terkendali bakal berdampak negatif terhadap kualitas hidup pribadi maupun lingkungan sosialnya.
Jadi rangkaiannya seperti bejana berhubungan. Malu, lalu takut ketahuan dan ujungnya marah-marah.
Seperti banyak fenomena sosial sekarang. Lantaran konspirasinya ditelanjangi, lalu malu, lalu takut. Ekspresinya dengan marah-marah. Yang ditelanjangi bukan hanya dirinya, bisa juga pujaan hati atau mimesisnya.
Mereka yang terasosiasi dengan pujaan (berhala) semacam ini tentu terusik tatkala dewa-dewinya digugat. Ia ikut malu, ikut takut ketahuan dan akhirnya ikut marah dan ngomel. Sebuah mekanisme bela kawan secara psikologis.
Bisa juga analisanya dibalik, kalau ada yang marah atau ngomel, mungkin juga ia sedang ketakutan. Takut dengan rasa malu, lantaran tahu sedang ditelanjangi. Dipahami saja. Tidak semua suka dengan terang transparansi.
Seperti Siti Hawa dahulu, yang tahu bahwa ia telanjang setelah melakukan perbuatan dosa. Lalu ia pun malu, dan menutup dirinya.
31/01/2020
*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H