Kooptasi terhadap parlemen adalah aspek yang penting bagi mobokrasi-kleptokrasi. Kenyataan tak adanya gugatan dan kritik cerdas dari fraksi-fraksi di DPRD DKI Jakarta terhadap anggaran kota (APBD) di tahun 2017 dan 2018 dicurigai lantaran ada hubungan gelap antara eksekutif dengan legislatifnya. Akibatnya telah dirasakan di akhir 2019 dan awal tahun 2020.
Selama dua tahun pembicaraaan anggaran kota saat itu pun tak terlihat adanya wacana publik yang kritis. Kondisinya seperti buta politik. Padahal seorang Bertolt Brecht (cendekiawan besar Jerman) pernah bilang: "Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."
Lanjutnya..."Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri."
Buta politik ternyata telah melahirkan rejim mobokrasi-kleptokrasi, administrasi kota yang tak tentu arah. Akibatnya duit rakyat pun bocor kemana-mana, dan rakyat pun terlantar.Â
Kita ulangi lagi, (dan) ...si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.
Akhirnya baru di kuartal akhir tahun 2019 ada kelompok akal sehat di parlemen yang mulai mengritisi anggaran kota, ternyata banyak sekali (potensi) kebocorannya. Dua tahun sebelumnya kemungkinan sudah bablas tak terkendali.
Baru-baru ini, rejim mobokrasi-kleptokrasi unjuk kekonyolan lagi. Heboh lagi untuk hal yang sangat tidak produktif sebetulnya. Celakanya hingar bingar di ruang publik (public-sphere, forum publicum) yang terjadi barusan ini langsung menohok simbol Ibu Kota, Monas!
Monumen Nasional (Monas) adalah simbol, landmark, penanda yang sudah jadi identitas Jakarta. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan Monas yang menjadi salah satu paru-paru kota (di)rusak. Berbagai dalih pembenaran baru muncul belakangan, tampak seperti orang kerepotan menutupi aurat tatkala kepergok sedang selingkuh.
Tambah lagi dengan fenomena 'keterkejutan' anggota komisi B dari DRPD-DKI Jakarta yang sidak ke lokasi hanya untuk mendapati banyak pohon yang sudah ditebang. Kami kecolongan katanya. Ah... sebuah drama politik yang tidak lucu.
Ketua parlemen Jakarta pun angkat suara, proyek di Monas itu katanya berkaitan dengan persiapan untuk balapan mobil listrik Formula-E. Â Suara lain bilang bahwa pohon-pohon itu akan direlokasi, ada juga yang bilang akan diganti dengan jenis pohon lain, akan ditambah jumlah pohonnya, dll.Â
Serba tidak jelas, simpang siur, tumpang tindih upaya pembenaran yang akhirnya melampaui kebenaran itu sendiri. Post-truth.