Dalam skala internasional, hasrat libidinal kapitalisme global dengan tanpa tedeng aling-aling bisa merangsek jauh ke dalam teritori kaedaulatan politik maupun ekonomi suatu negara yang kaya sumber daya alam. Bisnis minyak dan gas bumi di kawasan Timur Tengah, Iran, Irak, Libya, Venezuela, dll adalah beberapa contoh saja dimana korporasi kapitalis global bisa mengangkangi para elit politik untuk jadi komprador dan ramai-ramai menjarah negerinya sendiri.
Dalam skala nasional, libido kekuasaan sebagai sarana pemupukan kekayaan ekonomi telah mewujud dalam praktek-praktek politik uang dan praktek kapitalisme-semu (ersatz). Brutalnya sistem oligarki di berbagai partai politik yang memperkosa hak politik kadernya sendiri bukan barang baru di negeri ini. Ini semua konspirasi busuk, untuk berjamaah menjarah dana publik, anggaran negara pun bocor.
Dalam skala kedaerahan, panggung kontestasi gubernur, bupati atau walikota nampaknya sudah jadi ajang adu tebal muka. Adu tebal bedak yang bisa menutupi (mengalihkan isu) kebusukan para kontestannya, yang baru maupun petahana.
Ditengarai bahwa rakyat memang sengaja dibiarkan bodoh dan buta politik agar gampang dibius dengan candu cepeceng alias serangan fajar nanti semalam sebelum hari pencoblosan. Beli suara, bayar lunas dan habis perkara. Setelah itu segera pikirkan ROI (return on investment), dan APBD adalah lahan bancakan yang empuk, seperti berburu di kebun binatang.
Ketiga dimensi dalam kancah politik: internasional, nasional dan daerah bukanlah dimensi yang tercerai berai. Ada kelindan satu sama lainnya. Kita tahu juga bahwa kekuasaan politik itu terlaksana lewat suatu persetujuan, semacam kontrak sosial (Thomas Hobbes), kekuasaan bisa juga terwujud dalam pertarungan kekuatan (ala Nicollo Machiavelli), atau juga bisa kekuasaan beroperasi sebagai suatu fungsi dominasi suatu kelompok yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi dan manipulasi ideologi (Karl Marx).
Kita bisa membaca peta politik Indonesia kontemporer dengan ketiga pisau analisa ini. Karena memang ketiganya serentak dan sekaligus berjalan bersama.
Pemilihan umum yang merupakan sarana demokratis ada dalam konteks kontrak sosial. Sementara berbagai siasat dan manuver politik ala Machiavelli semasa pra-pemilu, maupun pasca-pemilu telah terbukti.
Dan itu semua terjadi, dalam kajian marxian berada dalam suatu kondisi dimana sentra-sentra kekuatan ekonomi, finansial dan juga ideologis (agama) menjadi aktor determinan dalam menentukan jalan cerita sandiwara di panggung politik. Ada semacam alienasi disini.
Jadi bagaimana?
Seperti ilustrasi cerita di film Avatar tadi. Rakyat Indonesia ini ibarat tinggal di planet Pandora yang rindang, dengan  kehidupannya yang unik, banyak makhluk cantik namun banyak pula yang buas. Kehidupan awal (the state of nature) bangsa ini seolah digambarkan hidup damai dalam harmoni keseimbangan alam raya Nusantara.
Banyak pihak (internasional sampai lokal) yang merambah ke Pandoranya Nusantara demi mengeksploitasi sumber daya alam yang langka di tempat lain namun melimpah disini. Ini soal keuntungan ekonomi-finansial yang konon harganya milyaran dollar. Kapitalisme global lewat instrumennya yaitu korporasi transnasional tentu sangat ngiler begitu tahu ada komoditi milyaran dollar yang tertimbun disini. Suatu potensi yang harus dieksploitasi habis-habisan, begitu selalu pikirnya.