Tak urung Jack Welch, legenda dari GE, pernah minta pada para eksekutifnya untuk membuat bukan cuma sekedar website dari lini bisnisnya masing-masing. Dia bilang, "Embrace the Net. Bring me a plan how you are going to transform your business beyond adding an internet site."
Bill Gates menambahkan, "The internet is not just another sales channel. The future company will operate with a digital nervous system."
Gonjang-ganjing perubahan global. Tatkala Alvin Toffler merilis Future Shock di tahun 1970, dunia sudah diingatkan bahwa "Behind such prodigious economic facts lies that great, growling engine of change--technology." Memang bukan cuma teknologi semata, namun, "[...[ technology is undisputably a major force behind the accelerative thrust."
Aspek lain dari komponen PESTEL selain Teknologi adalah Politik, Ekonomi, Sosial, Environment dan Legal. Aspek lingkungan hidup menjadi krusial untuk dicermati sebagai salah satu change driver penting. Apalagi setelah Al Gore menang Oscar dengan film presentasinya, An Inconvenient Truth.
Memasuki milenium ketiga, kembali didorong oleh teknologi, muncul sebuah fenomena ekonomi baru yang dikenal dengan nama fenomena buntut panjang (The Long Tail). Kurva permintaan bisa berjuntai panjang. Konsep PLC (product life cycle) tradisional yang kita kenal biasanya berbentuk lonceng (bell-shape), ujung kanan kurvanya bisa saja terus mengalir datar panjang sekali, karena itulah disebut buntut panjang.
Teknologi internet yang membawa demokrasi informasi (pengetahuan) telah membuka banyak pintu kemungkinan bagi banyak orang untuk menawarkan (supply side) solusinya--dan sebaliknya juga: banyak orang mencari (demand side) solusi kepada/dari banyak orang (from/to many to/from many), 24 jam sehari tanpa batasan geografi! Limitless-borderless.
Hampir empat dasawarsa setelah Alvin Toffler menulis Future Shock, pemimpin redaksi majalah Wired, Chris Anderson merilis bukunya yang berjudul: The Long Tail, How Endless Choice is Creating Unlimited Demand (diterbitkan oleh Random House Business Book, London, 2007). Suatu kajian menarik tentang ekonomi yang didorong oleh kemampuan internet yang bisa mendobrak dinding-dinding ruang dan waktu.
Coba lihat 3 fenomena ekonomi digital ini: Napster (digital music), Netflix (digital movies) dan Amazon.com (yang ini kita sudah akrab) dalam hal kapasitas inventory-nya. Sesungguhnya, secara virtual, inventory-nya bisa tanpa batas!
Pada tahun 2006, sewaktu Chris Anderson menyelesaikan bukunya. Tercatat, Napster (dulu Rhapsody) menampung sekitar 1,5 juta track; Netflix menampung sekitar 55 ribu judul film; dan Amazon.com menawarkan 3,7 juta judul buku.
Bandingkan dengan retailer musik dan video terbesar di Amerika, yakni Wal-Mart yang memotong inventory-nya dengan "hanya" menawarkan sekitar 4.500-an judul CD, yang biasanya juga merupakan top-hits!
Lihat pula toko buku raksasa sekelas Borders dan Barnes&Noble (di Amerika) yang tiap tokonya 'cuma' menawarkan sekitar 100.000-an judul buku. Yah memang hanya 'segitulah' kemampuan inventory mereka.
Dan ini adalah logika-dagang yang lumrah saja. Dalam perhitungan Wal-Mart, 200 album musik teratas (Top-200) telah menyumbang lebih dari 90% total penjualan segmen musiknya. Prinsip Paretto (80/20) masih berlaku untuk model ekonomi brick & mortar. Ngapain juga membebani inventory dengan "barang-barang" yang seret penjualannya?
Namun, dalam model ekonomi click & drag (era internet), yang muncul adalah hukum 98 persen, dari 100 judul yang diluncurkan, 98 judul akan terus ada permintaannya (long-tail demand-curve), walaupun mayoritas tidak sebesar permintaan judul-judul yang top-hits.
Inventory bukan menjadi beban, tapi malah menjadi offering-enrichment! Varian tawaran yang, hampir, tak terbatas!
Di Indonesia kita sudah akrab dengan para unicorn bisnis seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan berbagai start-up berbasis internet yang mulai menanjak. The internet of things (IoT) telah menjadi platform mereka dalam setiap rencana pengembangan bisnisnya.
Memang tidak semua produk bisa mengalami kurva permintaan buntut-panjang. Namun sesungguhnya ada banyak insights dari kasus seperti Amazon.com dan eBay yang menjual physical-goods; lalu iTunes, iFilm, Napster (Rhapsody) dan Netflix yang memang menjual digital-goods.
Ada lagi Google, Craiglist, dan Wikipedia yang menawarkan advertising, jasa dan informasi-pengetahuan, sampai mereka yang menawarkan komunitas (user-created content) seperti Facebook, Instagram dan Twitter.
Apa yang bisa Anda raih dari fenomena The Long-Tail ini?
Lansekap bisnis sedang bergeser terus. Pemasaran, saat ini, jadi (ber)buntut panjang!
***
31/12/2019
Andre Vincent Wenas*,DRS,MM,MBA. Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa
Catatan: Bahan artikel ini pernah terbit di Majalah MARKETING edisi November 2007, dan telah diedit ulang oleh penulisnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H