Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menjelang Pilkada Serentak 2020: Layakkah Dipilih Kepala Daerah yang Tidak Upload R/APBDnya Secara Rinci dan Terbuka?

24 Desember 2019   04:05 Diperbarui: 24 Desember 2019   04:25 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Ya, layakkah kepala daerah yang tidak mengunggah R/APBDnya secara rinci dan terbuka selama ia menjabat untuk dipilih kembali? Ini pertanyaan penting untuk direspon secara positif oleh eksekutif dan legislatif di setiap tingkatan daerah (propinsi, kabupaten dan kota).

Pernah disinyalir bahwa kebijakan anggaran di daerah masih jauh panggang dari api. Distribusi atau alokasi dananya tidak relevan dengan esensi dan tujuan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) itu sendiri, yaitu pembangunan daerahnya dan demi kepentingan masyarakat. 

Secara umum bisa dibilang bahwa lebih dari setengah APBD habis buat belanja pegawai. Prinsip efisiensi dan efektivitas haruslah jadi patokan utama dalam penyusunan anggaran. Ini  khan uang rakyat dan pemanfaatannya harus fokus demi kepentingan rakyat. Belanja birokrasi memang penting juga. Hanya saja jika dana APBD lebih banyak untuk menggerakkan mesin birokrasi ketimbang demi kepentingan rakyat, artinya politik anggaran daerah itu belumlah berada dalam arah yang semestinya.

Ketimpangan dalam kebijakan anggaran ini bukan hal yang baru, sudah berlangsung lama namun sedikit yang berupaya untuk mengoreksinya. Bukan rahasia lagi bahwa porsi terbesar APBD propinsi, kabupaten dan kota di Indonesia habis digelontorkan untuk belanja pegawai. Angkanya bisa melampaui 50% dana APBD, bahkan kabarnya ada daerah yang sampai 70% dana APBD hanya untuk belanja pegawai. Lalu apa konsekuensinya? Ya rakyat di daerah tersebut tidak menikmati apa-apa. 

Mereka tetap saja miskin, infrastruktur tak terbangun bahkan rusak, aliran listrik tersendat, pasokan air bersih jadi barang langka, fasilitas layanan kesehatan buruk. Energi APBD habis tersedot untuk menggaji ASN (aparatur sipil negara) saja.

Kepincangan pemanfaatan anggaran ini harus dikoreksi. Oleh Pemerintah Pusat-Daerah dan oleh masyarakat sipil secara langsung! Ya, oleh masyarakat secara langsung. 

Di era teknologi informasi yang semakin canggih sekarang ini, mudah sekali untuk mengunggah rincian rencana program dan anggarannya ke laman resmi pemda. Sehingga masyarakat luas bisa ikut membantu pemerintah daerahnya dengan memberi masukan positif serta kritik membangun dalam merumuskan program yang tepat sasaran untuk kesejahteraan masyarakat luas.

Dana APBD bersumber dari pajak rakyat, jadi haruslah dipakai secara efektif dan efisien untuk pembangunan serta kesejahtehteraan masyarakat di daerah. Bukan untuk dihamburkan, atau bahkan diselewengkan. Kasus ABPD di Jakarta dan Sulut (hasil penyelidiakn Voxdoc terhadap pola APBD Sulut 2017 & 2018) masih saja ditemukan fakta pos pengeluaran yang mengada-ada, seperti lem aibon, rapat pemahaman/studi banding yang aneh atau pembuatan baju dinas yang kadang lebih besar dari anggaran pembangunan fasilitas pendidikan atau sanitasi di sebuah kampung. Itu hanya sebagian kecil contoh.

Dengan langkah koreksi oleh masyarakat secara langsung, dan juga oleh pemerintah pusat-daerah, diharapkan dana APBD bisa dikembalikan ke tujuan dan fungsinya yang benar, yakni menjadi daya bahan bakar penggerak roda pembangunan di daerah. 

Supaya  APBD bisa lebih prorakyat dan pro-pembangunan daerah, langkah evaluasi dan koreksi lewat wacana publik jadi sangat perlu bahkan imperatif. Ini bukanlah sesuatu yang mengancam dan menakutkan. 

Wacana publik yang sehat diperlukan demi memastikan penggunaan keuangan negara dalam APBD sesuai fungsi dan tujuan hakikinya. Dana ini juga mesti dikelola dengan prinsip berkeadilan, tidak boros, tepat sasaran, proporsional, efektif, efisien dan -- ini yang paling penting -- terbuka serta transparan sehingga akuntabilitasnya terjamin.

Menghadapi masalah-masalah negara (dan daerah) kebijakan pemerintah harus terumus jelas dalam hal prioritas, program, metode dan pendasaran filosofisnya. Lalu menjadikannya transparan (terbuka bagi diskursus publik) dalam pertanggungjawabannya. 

Atas dasar kebijakan umum seperti inilah wakil rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat bisa membuat evaluasi kinerja pemerintah dan menuntut pertanggungjawabannya. Inilah etika politik pejabat publik yang semestinya. Tanpa itu hanya ada ruang-ruang gelap politik dimana para koruptor dan kompradornya bisa bermain gila menyelewengkan uang rakyat. 

Sehingga pertanyaan awal diatas tadi bisa kita jawab, Kepala Daerah yang selama menjabat belum/tidak mengunggah R/APBDnya secara rinci dan terbuka tidaklah layak untuk dipilih kembali! Akuntabilitasnya sangatlah diragukan! 

Kita harus menghentikan pragmatisme politik. Dari segi rekrutmen politik harus akuntabel dan transparan agar masyarakat mau terlibat aktif dalam politik sehingga orang-orang terbaiklah yang nantinya masuk ke dalam sistem pemerintahan. Selamat berpesta demokrasi dalam Pilkada Serentak 2020. Vox Populi, Vox Dei.

*Andre Vincent Wenas*,DRS,MM,MBA. Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa, Politisi PSI (Partai Solidaritas Indonesia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun