Pertanyaannya sekarang adalah apakah uang kertas yang kita pergunakan saat ini masuk kategori barang ribawi?
Jika mengutip pendapat ulama Maliki dan Syafii yang mengatakan jika, ratio-legis (alasan yang memicu) menjadikannya emas dan perak dalam kategori benda ribawi adalah karena keduanya dipergunakan sebagai mata uang (al-tsamaniyah).
Maka, sudah barang pasti, jika uang kertas yang ada pada masa ini, yang juga memiliki fungsi sebagaimana yang terdapat pada emas dan perak pada masa lampau, akan terkena akibat hukum yang sama pula (qiyasi). Sehingga, jika diperjual belikan/tukar menukar dengan melebihkan pada salah satunya, akan terkena implikasi hukum haram riba fadhl.
Pendapat ulama terdahulu yang mengkategorikan uang kertas sebagai harta yang memiliki fungsi dan akibat hukum yang sama dengan emas dan perak, dipertegas oleh pendapat-pendapat mayoritas ulama kontemporer, hal itu ditandai dengan hasil ijtihad wajibnya mengeluarkan zakat uang (maal), jika telah mencapai nishab (besaran wajib zakat) dan haul (masa satu tahun).
Dengan memandang uraian dan pendapat ulama diatas, bisa diambil kesimpulan jika aktivitas tukar menukar uang receh baru menjelang lebaran, jika ditransaksikan dengan akad jual beli maka hukumnya haram, bila dilakukan dengan melebihkan besaran nominal pada salah satunya. Sebagaimana yang terjadi pada praktik tukar uang pada model pertama.
Skim akad ijarah?
Sebagai solusi menyiasati transaksi haram yang terjadi pada praktik ini, sebagian kalangan berpendapat, jika tukar uang receh ini bisa dikategorikan ke dalam akad ijarah ‘amal (sewa jasa dengan upah). Dengan memposisikan pihak penyedia jasa penukaran sebagai mu’jîr al-‘amal, dan pihak penukar sebagai musta’jîr al-‘amal. Sehingga dengan begitu perbolehkan untuk mengambil keuntungan pada penukaran uang sejenis yang diasumsikan sebagai upah/ujrah untuk penyedia jasa.
Perlu diperhatikan, meski dalam banyak tulisan yang membahasa hukum dengan tema seperti ini melarang keabsahan transaksi tukar uang receh dengan skim akad ijarah, namun dalam hal ini penulis memiliki pendapat lain, yakni dengan memperbolehkan praktik tersebut dengan menggunakan skim ini. Bahkan penulis melihat jika penggunaan skim sudah bahkan sangat tepat.
Seringkali orang yang mengharamkan karena terlebih dulu memaknai bahkan men-judge bahwa transaksi ini adalah transaksi jual-beli uang yang di siasati dengan ijarah, padahal tidak harus demikian. Menurut penulis, meski sangat tipis perbedaan yang terdapat pada transaksi antara jual beli dan sewa jasa, namun tetap yang dikuatkan adalah akad yang disepakati dan dipergunakan ketika transaksi. Bahkan sudah cukup jelas, kalimat dan iklan yang biasa tertulis pada aktivitas mereka dengan menuliskan “jasa tukar uang” sebagai bentuk penegasan jika yang mereka jual adalah jasanya, bukan uangnya.
Bukannya akad pembiayaan pada perbankan syariah dengan pinjam meminjam pada bank konvensional juga berbeda tipis? Sebagaimana yang sering diutarakan salah seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga yang mengatakan, jika salah satu cara mensyariahkan transaksi dalam lembaga keuangan syariah adalah mengganti istilah “pinjaman” dengan “pembiayaan”.
Dengan demikian pelarangan praktik tukar menukar uang dengan skim akad ijarah dengan mempersoalkan kejelasan besaran upah di awal akad yang tidak boleh berubah setiap waktu, sebagaimana yang sering dipersoalkan pada pembahasan-pembahasan serupa adalah juga kurang tepat. Bukannya besaran (harga) jasa yang hendak diperjual belikan itu menjadi hak bagi seorang penyedia jasa? Sebagaimana pembeli jasa juga memiliki hak untuk memilih menuruti besaran jasa yang dijual, menawarnya, atau bahkan menolaknya. Karena yang terpenting dari ujrah adalah besaran yang disepakati dan bisa diserah terimakan. Bukankah tukang reparasi HP seringkali sebelum memperbaiki HP yang rusak terlebih dahulu menawarkan harga perbaikan untuk sebelum pada akhirnya diperbaiki dengan menunggu persetujuan dari pihak yang menginginkan perbaikan?