Mohon tunggu...
Andre Agustianto
Andre Agustianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyegarkan Kembali Pemahaman Mengenai LKS

2 Juli 2015   03:14 Diperbarui: 2 Juli 2015   03:52 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mochammad Andre Agustianto.

Mahasiswa Program Pascasarjana Hukum Bisnis Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

Mulanya, dengan segenap keterbatasan, penulis hanya beranggapan jika berbicara mengenai lembaga keuangan yang menjalankan operasionalnya menggunakan sistem syariah maka-maka satu-satunya lembaga yang menarik untuk dibahas hanya perbankan syariah. Itupun dalam setiap pembahasan dalam forum diskusi yang kami lakukan “ter-citra-kan” jika dalam implementasinya, meski secara nomenklatur menggunakan istilah “syariah” namun secara praktik, “bank syariah” seringkali di suarakan sebagai lembaga keuangan yang jauh dari nilai-nilai syariah, bahkan semacam hanya numpang keren dan laku dengan mendompleng istilah “syariah” yang menjadi kebanggaan mayoritas masyarakat Indonesia.

Baru ketika penulis bergabung dengan PAKEIS sebuah lembaga kajian ekonomi Islam dibawah naungan ICMI orsat Kairo, penulis mulai diperkenalkan dengan lembaga keuangan syariah yang baru dan sangat asing ditelinga penulis pada saat itu, yakni Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Di mata penulis (lebih tepatnya efek doktrinasi ditambah keterbatasan pengetahuan yang ada), saat itu BMT adalah satu-satunya lembaga yang representatif dalam menjalankan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Entah bagaimana ceritanya, yang pasti penulis imani hal itu, bahkan dulu pernah memiliki cita-cita untuk bisa mendirikan BMT di tengah-tengah lingkungan tempat tinggal penulis.

Sampai akhirnya ketika penulis pulang ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan program magister di salah satu PTAIN Yogyakarta. Dari pelajaran yang penulis terima, baik dari masukan dosen maupun hasil diskusi kleas, untuk kesekian kalinya memaksa penulis harus menginstall ulang pemahaman mengenai dua lembaga yang bersangkutan. Lebih jauh, penulis pun terpaksa menarik kekaguman penulis terhadap BMT, bahkan dengan malu-malu kucing sempat terbesit CLBK dengan perbankan syariah. Penilaian penulis (waktu itu), ternyata keduanya sama. Sama-sama menggunakan nomenklatur islami, tapi secara implementasi tak ubahnya dengan perbankan konvensional, bahkan catatan lebih untuk BMT, ternyata lebih sadis dari “bank kredit” yang keliling dari kampung ke kampung.

Syariah kok mahal?

Hal pertama yang seringkali dipersoalkan dan dipermasalahkan ketika menyudutkan lembaga kuangan syariah adalah pada aspek pengambilan keuntungan yang lebih tinggi dibanding perbankan konvensional. Diakui atau tidak, stereotip yang berkembang pada masyarakat awam terhadap operasional LKS haruslah lebih murah daripada perbankan konvensional. Paradigm tersebut berkembang dilatarbelakangi oleh anggapan jika dalam ekonomi syariah, prinsip dasar yang digunakan adalah tolong menolong dan menghindari perputaran uang yang terjadi diantara kaum konglo saja. oleh karenanya salah atau benar, yang pasti menurut mereka LKS harus lebih murah.

Suatu ketika penulis pernah berbincang dengan kawan yang bekerja sebagai AO (account officer) salah satu bank konvensial di Surabaya, penulis bertanya, “ berapa yang harus saya bayar jika saya meminjam uang sebesar 10 juta dalam jangka waktu 1 tahun?” Dia menjawab, (lupa secara pastinya) dia menyebut angka berkisar 12 jutaan rupiah saja. Ini berbalik ketika penulis melihat transaksi IMJ (Ijarah Multijasa) pada salah satu BMT yang ada di kota Yogya pada salah satu skripsi seorang mahasiswi. Disitu tertera adanya kesepakatan untuk melakukan pembiayaan sebesar 10 juta rupiah untuk jangka waktu 2 tahun.

Kira-kira, berapa ujrah/fee yang dimintakan oleh BMT untuk transaksi tersebut? Setara dengan besaran transaksi pada bank konvensional tadi kah? BUKAN! Yang ada dia jauh lebih mahal. Dana yang harus dikembalikan adalah sebesar Rp. 14.560.000, hampir 50% dari pokok. Belum ditambah dengan rincian bea administrasi sebesar 606ribu rupiah. Sangat mencekik dan sangat meyengsarakan.

Tidak terima melihat fakta yang terjadi penulis selalu berusaha untuk mencari informasi mengenai keunikan fenomena ini. Sampai akhirnya ketika mengikuti seminar nasional bertemakan “Peran OJK dalam Lembaga Keuangan Perbankan Syariah” yang dihadiri oleh wakil OJK Yogyakarta, penulis mengajukan beberapa pertanyaan tentang kegelisahan penulis terhadap lembaga keuangan syariah, salah satunya adalah menanyakan aspek “lebih mahal” yang pada bank syariah dan LKS secara umum, pada saat sesi tanya jawab.

Dan jawaban yang penulis terima pun cukup sederhana, ia mengatakan jika sistem syariah tidak harus lebih murah dari konvensional, sebagaimana sesuatu yang halal untuk dikonsumsi tidak jarang lebih mahal daripada yang haram. Ia pun mencontohkan betapa harga daging babi terbilang lebih murah daripada harga daging sapi yang notabene-nya halal untuk dokonsumsi kaum muslim.

Walaupun sederhana, namun jawaban tersebut cukup membangunkan kesadaran, jika selama ini asumsi kita yang keliru kalau memaksa syariah harus lebih murah daripada konvensional, karena memang tidak ada tuntunan yang mewajibkan seperti itu. Adapun yang ada adalah keharusan untuk bertransaksi dengan memperhatikan dan tidak melanggar rambu-rambu syariah.

Mengena memang, tapi tidak lantas begitu saja jawaban yang sederhana tersebut menjadikan penulis mencukupkan diri dalam mencari informasi. Hingga akhirnya pada saat jam perkuliahan yang diampu oleh salah satu guru besar universitas yang juga sekaligus menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah beberapa LKS di Yogyakarta, penulis mendapat kesempatan banyak untuk mendiskusikan hal ini.

Dan apa yang menjadi jawabannya? Sekali lagi, ia memberikan jawaban yang serupa mengenai ketiada harusan LKS dalam menjalankan transaksinya untuk memberikan pelayanan lebih murah dari perbankan konvensional. Ia mengutip salah satu statemen ketua AAOFI; Taqi Utsmani yang menganalogikan jual beli dua minuman berkaleng dengan ukuran yang sama. Satu berisi alkohol dan yang satunya lagi berisi soda. Walaupun andaikata keduanya dijual dengan mengambil keuntungan yang sama besar dan sama-sama murah, apakah kemudian nantinya bisa dikatakan jika penjualan keduanya telah sesuai dengan syariah? Jelas tidak. karena satu menjual minuman haram, dan yang menjual minuman halal. Ini mempertegas, jika murah tidak terkait dengan nilai kesyariahan, meskipun harga murah yang mempermudah itu di anjurkan dalam syariah.

Beruntungnya dalam kuliah tersebut, pak prof. tidak hanya memberikan argumentasi analogis, namun juga membeberkan pola kerja LKS dalam mengambil keuntungan (margin). Secara umum ia menyampaikan jika pola perhitungan pengambilan keuntungan antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah hakikatnya tidak jauh berbeda. Selain pemberian istilah yang berbeda dan lebih variatif, selebihnya bisa dikatakan sama. Sebagai contoh, dalam hal pembiayaan usaha, pada LKS menggunakan istilah pembiayaan, dan keuntungan yang diambil darinya disebut sebagai margin bagi hasil dengan menggunakan sistem proyeksi keuntungan. Sedang untuk transaksi jual beli (KPR atau sejenisnya), LKS menggunakan istilah margin profit yang sudah disepakati. Ini tentu berbeda dengan sistem operasional perbankan konvensional yang memukul rata keuntugan yang di inginkannya dengan menggunakan sistem bunga, meskipun secara perhitungan perolehan keuntungan menggunakan rumus yang sama, yakni dengan mempertimbangkan unsur: pengembalian modal, besar keuntungan yang diinginkan, overheat dan resiko.

Kemudian mengungkit permasalahan pembiayaan IMJ yang (menurut penulis) terlampau mahal diatas, ia menjelaskan jika tidak ada yang berrmasalah dengan pengambilan keuntungan yang besar seperti itu. secara detil diungkapkan jika nominal 4,5 juta yang diambil sebagai ujrah/fee atas jasa tersebut, jika di prosentase menjadi sekitar 45% dari pokok. Dengan tenor 2 tahun maka pertahunnya prosentase sebesar 22,5%/tahun. Dengan perhitungan seperti ini tentu tidak jauh berbeda dengan besaran yang harus dikembalikan oleh nasabah pada perbankan konvensional diatas, meskipun terdapat selisih harga lebih memang. Dan satu hal yang haru diketahui jika motif pengambilan keuntungan yang “lebih besar” pada LKS tidak lain adalah semata-mata untuk mengimbangi perbankan konvensional.

Selain itu terdapat keuntungan dalam mengggunakan jasa LKS adalah jika suku bunga naik bergejolak, karena sudah sepakat mengenai harga jual dan keuntungann pertahun di awal perjanjian, nasabah selamanya akan mencicil sejumlah yang disepakati dari awal hingga berakhirnya masa jangka waktu kredit. Itu baru sekelas BMT lho, kalo untuk kelas perbankan syariah tentu lebih bisa menekan besaran margin tentunya.

Untuk proses transaksi jangka pendek mungkin hal semacam ini tidak akan seberapa terasa, namun coba tanyakan dengan mereka yang pernah menggunakan jasa perbankan konvensional dalam jangka panjang, seperti transaksi KPR misalnya. Diakui, jika pada proses awal transaksi, cicilan pada bunga konvensional seringkali lebih murah dibandingkan dengan cicilan pada LKS, selisihnya pun terkadang lumayan.

Namun satu hal yang perlu diketahui “bunga murah” yang dibayarkan pada bank konvensional hanyalah terjadi pada masa bunga promosi atau yang dikenal sebagai masa “bulan madu” yang hanya berjalan kurang lebih 7-8 tahun, dan untuk pelunasan selanjutnya nasabah akan dikenakan dengan yang namanya “bunga pasar”, entah pasar yang bagaimana yang dimaksud, karena pada dasarnya meski bunga pasar sedang menurun pun mereka akan tetap saja menaikkan suku bunga nasabah, belum lagi jika model perhitungan keuntungan menggunakan sistem anuitas, yang dianggap sebagai jurus sakti membunuh nasabah perlahan-lahan, alamaak. Ini tentu berbeda dengan LKS yang sedari awal menerapkan besarnya pembiayaan dan angsuran sebagaimana yang telah disepakati di awal transaksi.

Mungkin sedikit uraian pada tulisan ini belum cukup meng-cover segala aspek permasalahan atau yang dijadikan masalah bagi mereka yang belum tertarik dengan perbankan syariah. Namun setidaknya, dari yang sedikit ini, bisa diperoleh semacam gambaran jika tidak semua presepsi negatif yang ada pada kita mengenai sepak terjang lembaga keuangan syariah selama ini, tidak semuanya benar. Wallahu a‘lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun