Mohon tunggu...
Andre Lolong
Andre Lolong Mohon Tunggu... Insinyur - Follow me @andre_gemala

Husband of a caring wife, father of two, car enthusiast, motorsport freak, Life learner..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Road Trip 3700 km (Etape 4: Pulau Dewata)

14 Maret 2024   09:31 Diperbarui: 14 Maret 2024   09:33 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya bersama si sulung di Pantai Melasti, Badung, Bali (dokpri)

Kecantikan Pulau Lombok memang merupakan harta karun Indonesia yang patut dijaga dan dikembangkan. Sesungguhnya saya pribadi enggan meninggalkan Lombok karena masih ingin explore lebih jauh tentang destinasi dan kuliner Lombok. Namun saya dan keluarga juga tidak bisa menyembunyikan antusiasme kami untuk pergi ke Bali. Lagipula perjalanan masih panjang. Terakhir kami sekeluarga ke Pulau Dewata yaitu pada pertengahan tahun 2019. Kemudian di 2020 saya sempat pergi ke Bali juga sebelum Pandemi, namun itu untuk business trip. Bukan dengan istri dan kedua putra kami. Kepergian kami kesana terakhir kali itu terus membayangi kami untuk mengulang Kembali road trip ke Bali dan Puji Tuhan, kini kesampaian lagi.

Dengan jadwal keberangkatan Kapal pk 12.30 WITA, kami sudah harus stand by di Dermaga Ferry Pelabuhan Lembar pk 11.00. Kami segera menyelesaikan sarapan kami dan loading barang untuk berangkat pk 08.30 dari Novotel di Kuta. Dua orang Senior Staff Novotel yaitu Pak Gozali dan Pak Uber yang membantu loading barang kami ke mobil juga sempat berfoto ria bersama kami sebelum melepas kepergian kami. "Jangan lupa fotonya nanti dimasukkan ke Instagram" pinta kedua Bapak-Bapak yang asli Lombok itu.

Kami bersama Pak Gozali dan Pak Uber, Staff Novotel Lombok yang ramah-ramah (dokpri)
Kami bersama Pak Gozali dan Pak Uber, Staff Novotel Lombok yang ramah-ramah (dokpri)

Di Indonesia banyak jalur Island hopping karena Negara kita ini adalah Negara Kepulauan. Dan demi makin meratanya Pembangunan dan kependudukan, sudah seyogyanya perlu banyak pengembangan dan pembukaan jalur baru bagi Masyarakat dan juga wisatawan. Kami menunggu kapal ferry Naraya yang akan membawa kami menyeberang ke Padang Bai, Bali dengan perjalanan kurang lebih 4 jam. Tiket sebelumnya sudah dibeli melalui aplikasi Ferizi dengan mendaftarkan data penumpang dan kendaraan kemudian melakukan pembayaran online dengan QRIS. Sungguh mudah dan cepat. Jadilah kami tiba pk 10.00 di Dermaga. Lanjut scan tiket dan masuk dalam baris antrian kendaraan yang sudah dipisah berdasarkan golongan menunggu Kapal Naraya merapat. Saya mematikan mesin, ambil barang bawaan dan mengunci mobil. Kemudian jalan sedikit ke Waiting Room di dalam Gedung utama.


Fasilitas Ruang Tunggu cukup baik. Sayang fasilitasnya kurang terpelihara. Jaringan wifi tidak stabil dan cenderung lemah. Toilet tidak terlalu bersih. Ada Kantin namun tutup sepanjang kami duduk disana. Mungkin karena hari itu adalah hari Jumat. Tidak ada Papan Informasi Keberangkatan ataupun Kedatangan Kapal Ferry. Informasi waktu keberangkatan hanya berdasarkan jadwal dan estimasi. Kapal Naraya merapat ke Dermaga Ferry Lembar pk 12.30. Kami pun masuk ke mobil untuk bersiap masuk.

Boarding Room Port Ferry Lembar, Lombok (dokpri)
Boarding Room Port Ferry Lembar, Lombok (dokpri)

Menurut informasi petugas, Kapal Naraya masih termasuk baru. Ukurannya sepenglihatan saya sedikit lebih besar dengan ferry yang biasa menyeberangkan kita dari Ketapang ke Gilimanuk. Setelah loading kendaraan, saya naik ke dek atas dan papasan dengan penjual tikar. Sesaat kemudian ada penjual tikar lainnya, dan lainnya lagi. Saya bergumam dalam hati, "Tikar untuk apa?". Segera saya akan tahu.

Dek penumpang terdiri dari AC dan Non-AC. Tentu saja adanya pemisahan itu demi mengakomodir penumpang yang lebih memilih untuk hirup udara laut ketimbang AC, dan sebaliknya. 

Di dalam ruangan AC terdapat banyak sofa panjang yang menghadap kedepan dan setiap sofanya bisa diduduki 5 orang dewasa. Juga tersedia tempat duduk yang ada mejanya bagi para penumpang yang ingin makan dan minum. Sayangnya pada kenyataannya, para penumpang duduk serampangan. Artinya ada yang duduk di sofa, dan yang tidak kebagian kursi, duduk di lantai dengan tikar yang mereka beli dari para penjual tikar dengan harga IDR 50,000. Penumpang-penumpang yang melantai ini tidak kebagian kursi, karena sofa-sofa panjang yang harusnya bisa diduduki 5 orang dewasa, pada kenyataannya hanya diduki 2-3 orang dengan menaruh tas-tas mereka di sofa tersebut. 

Budaya sungkan dan malu bertanya ternyata masih kental di Masyarakat kita. Banyak orang yang tidak kebagian sofa karena sungkan meminta penumpang lain yang menaruh barangnya di sofa untuk menurunkannya. Akhirnya mereka pasrah, beli tikar dan duduk melantai. Bahkan ada yang langsung ambil posisi tidur. Di ruang non AC juga ada yang tidur selonjoran dengan pulas di satu sofa. Tanpa menggubris penumpang lain. Entah mengapa tidak ada petugas yang mengarahkan dan mengatur.

Suasana Dek Penumpang Kapal Ferry Naraya (dokpri)
Suasana Dek Penumpang Kapal Ferry Naraya (dokpri)

Perjalanan memakan waktu tiga setengah jam. Dan seperti pada perjalanan ferry sebelumnya, kedua putra saya -terutama yang bungsu- senangnya untuk mengajak naik ke dek paling atas. Diatas terdapat beberapa tempat duduk panjang dan pasti asyik duduk disana sambil melihat matahari terbenam dari Laut Bali. Karena perjalanan kami adalah siang hingga ke sore hari, maka yang ada bukannya sunset melainkan panas Terik. Angin lautnya lumayan kencang.

Si bungsu memandangi Laut Bali di dek atas Kapal (dokpri)
Si bungsu memandangi Laut Bali di dek atas Kapal (dokpri)

Kapal merapat di Pelabuhan Padang Bai pada pk 16.15. Kami berempat sudah kelaparan, sementara perjalanan menuju Mercure Nusa Dua tempat kami menginap membutuhkan waktu satu setengah jam. Diana menyarankan berhenti di tempat makan apa saja yang kami jumpai dalam perjalanan. Saya mempertimbangkan usul itu, namun dari sebelum merapat ke Padang Bai tadi saya Cuma kepikiran satu hal; Fungi Pizza nya Massimo di Sanur. Dan sepanjang jalan Prof Dr Ida Bagus Mantra kami tidak menjumpai tempat makan yang mengundang selera. 

Kadang ada sih saat-saat dimana Diana tiba-tiba nyeletuk, "kesini saja" kalau dia melihat satu warung-warung makan lokal yang menurutnya menarik. Tapi saya mengabaikannya hehehe. Anak-anak tertidur pulas di belakang. Jadi saya pun memanggil BMW Assistant yang ikut serta dengan kami selama perjalanan, "Hey BMW" ucap saya. BMW personal assistant menjawab "Hello. How may I help you?". Saya melanjutkan permintaan saya, "Take us to MASSIMO restaurant at Sanur". Pengucapan Bahasa terutama nama tempat harus jelas ditangkap oleh AI tersebut agar ia dapat segera menariknya dari database dan menuangkannya ke Layar LCD sebesar 8 inch di Tengah dashboard. Sesaat kemudian nama Restoran Italia itu muncul dengan estimasi waktu tempuh dan jarak. Saya mengkonfirmasinya dengan menekan "OK".

Suasana Massimo Restaurant di Sanur, Bali (dokpri)
Suasana Massimo Restaurant di Sanur, Bali (dokpri)

Gelato Showcase di Massimo Restaurant (dokpri)
Gelato Showcase di Massimo Restaurant (dokpri)

Pizza, Gelato dan suasana Massimo Restaurant di Sanur membuat saya ingin Kembali lagi sejak kunjungan kami kesana pertengahan 2019 lalu. Suasana Jalan Duyung di Sanur yang dipenuhi dengan Toko, Cafe dan Bar membuat saya makin bersemangat lagi biarpun sebenarnya sudah Lelah. Animo nya makin terasa ketika kami berbelok ke kiri memasuki Jalan Danau Tamblingan. 

Antrian panjang bagi orang yang ingin membeli Gelato sudah nampak dari luar. Gelato showcase yang panjang dan menghadap langsung ke jalan seolah memanggil orang untuk datang dan membeli beberapa scoop Gelato beraneka rasa, dari yang halal hingga non-halal. Massimo sungguh penuh sore jelang malam itu, namun kondusif. Kami langsung kembagian tempat duduk dan meja. Suasana Natal dari Christmas Cake, ornaments, Pohon natal besar mewarnai Massimo. Begitu juga dengan foto-foto sang Maestro bersama sahabat keluarga maupun beberapa orang terkenal terpampang di beberapa pilar. Dan wangi Pizza membahana di Tengah hiruk pikuk crowd yang asik. Fungi Pizza, Spaghetti Bolognese, Oglio, Cheese Bread, serta juice dan beer membuat perut kami Bahagia hari itu. 

Sore pun berubah menjadi gelap. Kami masuk mobil kembali dan menuju ke Hotel. Tidak sabar buat main ke Pantai Melasti besoknya...

bersambung..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun