Mohon tunggu...
Andre Barahamin
Andre Barahamin Mohon Tunggu... -

Penulis amatir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kamisan: Kesabaran dalam Kebisuan

30 Agustus 2013   11:31 Diperbarui: 19 Januari 2017   10:26 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Kamisan ke 454 di seberang Istana Negara, Kamis (11/8/2016). || Kristian Erdianto/KOMPAS.COM

Suara mereka tak lagi melalui teriakan corong pengeras suara namun secara sarkastik telah bermetamorfosis dalam letihnya tatap mata dan tubuh-tubuh yang menahan lelah berdiri tepat di depan istana negara. Kamisan juga adalah simbol dari konsistensi mereka yang terampas, tersakiti dan babak belur di hajar oleh kekuasaan yang disalahgunakan.

Namun di saat bersamaan masih tegar dan menyatakan tak akan mundur hingga negara mengambil sikap tegas dan terang. Ini adalah perayaan sepi yang merangkum potret kekerasan masa lalu yang tak bisa dibiarkan berlalu. Tentang sebuah masyarakat hari ini yang tak akan pernah bisa mengingkari fakta, jutaan saudaranya dibuntungi hak-haknya sebagai manusia.

Tindak serangan terhadap kemanusiaan oleh pemangku kekuasaan negara, tak mendapatkan pembenaran apapun meski ia dilandaskan pada soal perbedaan politik, sentimen rasial ataupun upaya melanggengkan legitimasi struktural kekuasaan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang kemudian dijabarkan secara eksplisit dalam Kovensi Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, menjadi satu dari sedikit benteng yang melindungi seorang warga negara dari pencabutan haknya sebagai seorang manusia oleh kekuasaan negara.

Ratifikasi kedua kovenan hak asasi manusia di atas oleh Indonesia, seharusnya menjadi batu pijak untuk negara menunjukkan komitmen penegakan kemanusiaan dan pemenuhan hak-haknya. Namun sikap negara yang diam hingga saat ini seperti menegasikan semua upaya tersebut. Hingga rezim hari ini, yang terjadi justru sebaliknya. Impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM, serta ketidakjelasan nasib para korban dan keluarganya dalam balutan ganti rugi uang.

Persidangan demi persidangan yang dilakukan berubah menjadi opera sabun tak layak tonton yang menunjukkan keengganan pemerintah untuk segera bergegas menyelesaikan setiap kasus pelanggaran HAM serta memastikan ketidakberulangannya. Sementara pihak kalangan keluarga korban, korban dan survivor serta mereka yang bersolidaritas di terpa kenyataan pahit suramnya masa depan kasus yang menimpa mereka. Satu contoh adalah ketika persidangan terkait kasus penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti berakhir tragis dengan hanya menghukum para perwira rendahan.

Sementara garis komando yang mengaitkan dengan mekanisme kerja militer dan menyeret para perwira tinggi sengaja luput dari pertimbangan dewan hakim. Sebuah foto yang ikut dipajang dalam rangkaian Pekan Melawan Lupa, sejak tanggal 28 September hingga berakhir 4 Oktober 2010 menangkap satu dari sisi asa yang hadir oleh mereka yang masih menjahit harapan akan keadilan.

Foto yang mengabadikan kumpulan ibu-ibu dalam busana hitam membentangkan sebuah spanduk dengan tulisan: Tiada Maaf Tanpa Pengadilan. Gambar itu adalah salah satu hasil jepretan fotografer anonim untuk kepentingan dokumentasi Kontras setiap kali Kamisan diselenggarakan. Menghadirkan wajah-wajah yang semakin berkerut karena gelinding waktu yang berlalu dan perbandingannya yang ironis dengan inisiatif negara.

Acara ini digagas oleh Kelompok Kerja Pengungkapan Kebenaran atau disingkat KKPK sebagai upaya mencegah bergesernya ingatan menuju amnesia. Milan Kundera, penulis fiksi ternama pernah mengatakan bahwa perjuangan melawan penguasa adalah perjuangan melawan lupa. Hal yang serupa juga sempat dikatakan oleh Munir Said Talib semasa hidupnya sebelum akhirnya juga ia ikut menjadi bagian dari mereka yang disingkirkan oleh penguasa. Bahwa bangsa ini memiliki penyakit kronis yang mesti segera disembuhkan.

Penyakit itu adalah: lupa. Kedua pernyataan ringkas ini adalah sikap negara saat ini yang menjadi sasaran dari Kamisan. Mencegah agar negara jangan sampai lupa dan mendiamkan begitu saja tragedi-tragedi berdarah di masa lalu. Bahwa yang terjadi kemarin adalah sesuatu yang menyakitkan namun mesti dengan segera dituntaskan agar tak menjadi borok untuk masa depan. Kamisan adalah satu aksi kecil dari banyaknya inisiatif masyarakat sipil, kalangan korban, dan keluarga korban untuk setiap saat terus mengupayakan agar keadilan itu terwujud. Tak ada balutan dendam kesumat di setiap bibir yang terkatup rapat di sana. Ada kesabaran yang didirikan di atas keinginan dari tiap mereka agar ini menjadi prasasti hidup dari bukti enggannya negara menunjukkan itikad baik dalam persoalan ini.

Kamisan adalah prosesi dari orang-orang yang dipinggirkan oleh kekuasaan dan diacuhkan oleh negara. Bahkan ketika mereka telah berada tepat di depan istana. Menunggu agar ada pintu keseriusan negara sesegera mungkin menyeret para pelaku ke pengadilan, menjatuhkan hukuman yang setimpal, memulihkan hak-hak mereka yang menjadi korban dan mengembalikan mereka yang masih hilang.

Tak luput juga negara harus menjamin bahwa peristiwa-peristiwa serupa tak akan terulang agar tak perlu lagi ada Kamisan-Kamisan lain yang bermunculan di depan istana presiden. (Oktober 2010)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun