Mohon tunggu...
Andrea Wiwandhana
Andrea Wiwandhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketer

Menggeluti bidang digital marketing, dan saat ini aktif membangun usaha di bidang manajemen reputasi digital. Spesialis dalam SEO, dan Optimasi Google Business.

Selanjutnya

Tutup

New World

Pemasaran Digital: Ketika Etika Tertinggal di Balik Teknologi

21 Januari 2025   14:15 Diperbarui: 21 Januari 2025   14:15 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi telah membawa pemasaran digital ke era baru yang lebih canggih, di mana data menjadi aset utama. Algoritma yang dirancang untuk memahami kebiasaan pengguna, pemasaran berbasis data yang semakin personal, hingga penggunaan teknologi kecerdasan buatan untuk memprediksi kebutuhan pelanggan, semuanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat tantangan besar terkait etika yang mengiringi. Apakah inovasi ini benar-benar untuk kepentingan konsumen, atau sekadar alat untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan?

Algoritma Media Sosial: Antara Kenyamanan dan Bahaya

Media sosial tidak lagi sekadar platform untuk berinteraksi, melainkan telah menjadi ekosistem pemasaran raksasa. Salah satu fitur paling menonjol adalah algoritma yang berfungsi menyaring konten berdasarkan preferensi pengguna. Algoritma ini dianggap memberikan pengalaman yang lebih personal, di mana pengguna dapat melihat konten yang relevan dengan minat mereka. Namun, kenyamanan ini membawa risiko yang tidak kecil.

Filter Bubble dan Echo Chamber
Algoritma media sosial sering dituding menciptakan filter bubble---sebuah kondisi di mana seseorang hanya terpapar pada konten yang sejalan dengan pandangannya. Misalnya, pengguna dengan pandangan konservatif akan lebih sering disajikan konten konservatif. Seiring waktu, ini memperkuat keyakinan yang sudah dimiliki tanpa memberikan ruang untuk sudut pandang yang berbeda. Akibatnya, lahir fenomena echo chamber, di mana opini yang sama terus bergema, menjadikan individu semakin sulit menerima perbedaan.

Sebagai pengamat sosial, saya melihat ini sebagai tantangan besar. Bagaimana kita dapat membangun masyarakat yang inklusif dan toleran jika teknologi terus memperkuat sekat-sekat digital? Dalam jangka panjang, dampak ini tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan, yang menjadi semakin terpolarisasi.

Data sebagai Komoditas: Siapa yang Diuntungkan?

Pemasaran berbasis data atau data-driven marketing adalah inti dari strategi pemasaran modern. Dengan mengumpulkan data pengguna, perusahaan dapat memahami perilaku konsumen dan menawarkan produk yang sesuai. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan dilema etis.

Pelanggaran Privasi yang Terus Meningkat
Sebagian besar konsumen mungkin tidak sepenuhnya menyadari sejauh mana data mereka diawasi. Aktivitas seperti mencari produk di internet atau menyukai postingan media sosial dapat direkam dan dianalisis untuk membangun profil psikografis yang sangat rinci. Survei menunjukkan bahwa 60% konsumen merasa data mereka disalahgunakan, yang menunjukkan adanya kesenjangan antara teknologi dan kepercayaan publik.

Lebih buruk lagi, data ini sering kali dijual ke pihak ketiga tanpa sepengetahuan pengguna. Ini bisa dimanfaatkan untuk tujuan positif, seperti meningkatkan pengalaman pelanggan, tetapi juga dapat disalahgunakan untuk propaganda politik, manipulasi opini publik, atau bahkan penipuan. Tim Berners-Lee, pencipta World Wide Web, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa teknologi yang ia ciptakan justru menjadi senjata bagi manipulasi global.

Algoritma News Feed: Solusi atau Masalah?

Salah satu justifikasi untuk algoritma news feed adalah untuk membantu pengguna mengatasi banjir informasi. Bayangkan, jika seorang pengguna memiliki 300 teman yang masing-masing memposting beberapa foto, komentar, atau tautan berita setiap hari, maka akan ada ribuan konten baru yang harus dilihat. Algoritma ini berfungsi sebagai "penyaring," menampilkan konten yang dianggap paling relevan.

Namun, pendekatan ini membawa dua masalah utama. Pertama, bagaimana menentukan relevansi secara objektif? Preferensi individu sangat bervariasi, dan algoritma sering kali gagal memahami konteks atau niat sebenarnya di balik interaksi pengguna. Kedua, meskipun algoritma berhasil menyajikan konten yang relevan, pengguna tetap kehilangan kendali atas pengalaman mereka sendiri. Dalam banyak kasus, algoritma lebih menguntungkan platform ketimbang pengguna.

Pemasaran Digital: Antara Keuntungan dan Eksploitasi

Pencipta iklan pop-up pernah menyatakan bahwa ada perbedaan besar antara pemasaran berbasis niat dan pemasaran berbasis pengawasan. Pemasaran berbasis niat adalah ketika perusahaan merespons kebutuhan nyata konsumen, seperti membantu mereka menemukan produk yang sesuai. Sebaliknya, pemasaran berbasis pengawasan melibatkan pemantauan intensif terhadap aktivitas online pengguna untuk memprediksi kebutuhan mereka, yang sering kali melanggar privasi.

Pendekatan kedua ini menjadi dasar dari model bisnis banyak perusahaan teknologi. Mereka tidak hanya menawarkan produk atau layanan, tetapi juga memanfaatkan data pengguna untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Dalam jangka panjang, ini dapat merusak hubungan antara perusahaan dan konsumen, terutama ketika pengguna merasa dimanipulasi.

Mencari Jalan Tengah

Bagaimana kita dapat memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan etika? Jawabannya terletak pada transparansi dan penghormatan terhadap privasi pengguna. Perusahaan harus memberikan kontrol lebih kepada konsumen atas data mereka, seperti memungkinkan mereka untuk memilih jenis data apa yang boleh dikumpulkan.

Selain itu, regulator juga perlu memainkan peran yang lebih aktif. Hukum dan kebijakan harus dirancang untuk melindungi konsumen dari eksploitasi data. Misalnya, undang-undang seperti GDPR di Uni Eropa dapat menjadi model untuk negara lain dalam melindungi privasi pengguna.

Sebagai seseorang yang telah memutuskan untuk berhenti menggunakan media sosial, saya merasa lebih bebas dari tekanan algoritma yang terus mencoba "memahami" saya. Saya tidak lagi merasa perlu mengetahui kehidupan pribadi orang lain yang sebenarnya tidak relevan dengan hidup saya. Pengalaman ini membuat saya semakin sadar akan pentingnya mengambil kendali atas teknologi yang kita gunakan.

Pemasaran modern memiliki potensi besar untuk menciptakan hubungan yang lebih baik antara perusahaan dan konsumen. Namun, tanpa etika yang jelas, teknologi ini justru dapat menjadi alat eksploitasi. Masa depan pemasaran terletak pada kemampuan kita untuk menemukan keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun