Di era modern ini, kecerdasan dan keahlian menjadi nilai yang sangat dijunjung tinggi. Kita hidup di dunia di mana setiap organisasi berlomba-lomba merekrut orang pintar dengan harapan mendapatkan hasil terbaik. Namun, apakah memiliki terlalu banyak orang pintar dalam sebuah tim atau masyarakat benar-benar memberikan dampak positif? Atau justru sebaliknya, membuat segalanya menjadi lebih rumit dan kontraproduktif? Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana terlalu banyak orang pintar dapat membunuh produktivitas dan kreativitas, dan mengapa kita sebenarnya membutuhkan 'orang bodoh' yang memiliki cara pandang yang lebih sederhana dan tidak terikat dengan kerumitan intelektual.
Sebuah kesalahan umum yang sering kita jumpai adalah anggapan bahwa kecerdasan tinggi otomatis berarti hasil yang luar biasa. Tetapi, pada kenyataannya, terlalu banyak orang pintar dalam satu tim bisa menjadi pedang bermata dua. Banyak penelitian menunjukkan bahwa ketika sebuah kelompok dipenuhi oleh individu yang terlalu cerdas atau berbakat, justru terjadi penurunan efektivitas. Salah satu artikel di Inc. menyoroti bahwa tim yang terlalu padat dengan talenta berkualitas tinggi cenderung mengalami penurunan produktivitas karena setiap individu berusaha mendominasi dan mengambil keputusan sendiri-sendiri.
Faktor ini sering kali disebut sebagai "curse of knowledge" --- di mana orang yang terlalu pintar cenderung overthinking, membuat hal-hal sederhana menjadi terlalu rumit. Mereka juga cenderung lebih keras kepala dengan cara berpikir mereka, sulit menerima gagasan yang lebih sederhana atau praktis. Dalam beberapa kasus, mereka juga menjadi kurang kolaboratif karena merasa kemampuan mereka jauh di atas orang lain. Ini adalah salah satu alasan mengapa keberadaan 'orang bodoh' dalam tim justru bisa memberikan keseimbangan yang penting.
Konsep 'orang bodoh' di sini bukan merujuk pada orang yang benar-benar tidak memiliki kemampuan, melainkan pada individu yang membawa perspektif lebih sederhana dan pragmatis dalam menyelesaikan masalah. Darius Foroux dalam artikel Stoic Principles: Being Smart Is Not Always The Best Strategy menekankan bahwa sering kali, orang yang tidak terlalu pandai justru memiliki keunggulan dalam mengambil tindakan cepat dan efektif, tanpa terjebak dalam analisis yang berlebihan. Orang yang terlalu pintar cenderung mempertimbangkan semua kemungkinan, bahkan yang paling tidak relevan, yang akhirnya memperlambat proses pengambilan keputusan.
'Orang bodoh' yang dimaksud juga cenderung memiliki keberanian untuk bertanya dan mencoba hal-hal yang dianggap remeh oleh orang pintar. Mereka cenderung tidak terbebani oleh ekspektasi diri sendiri atau orang lain, sehingga lebih luwes dalam beradaptasi dan lebih gesit dalam mencoba solusi baru. Sementara itu, orang-orang pintar sering kali merasa tertekan untuk selalu benar dan selalu unggul, sehingga kurang mampu berinovasi atau mengambil risiko.
Sering kali, kita melihat bahwa inovasi besar lahir dari pemikiran sederhana. Sebagai contoh, banyak terobosan teknologi yang revolusioner dimulai dari ide yang tampak bodoh atau tidak terlalu kompleks. Orang-orang yang tidak terlalu terikat dengan kerangka berpikir yang rumit mampu melihat solusi dengan lebih jelas. Mereka tidak merasa perlu untuk selalu menciptakan solusi yang 'pintar' atau intelektual, tetapi lebih fokus pada apa yang bekerja secara praktis.
Sebaliknya, orang-orang dengan kecerdasan tinggi sering kali terpaku pada solusi yang rumit, bahkan ketika sebenarnya hal tersebut tidak diperlukan. Dalam dunia bisnis dan startup, hal ini juga sering terlihat. CEO Kara Goldin dari Hint, dalam wawancaranya dengan CNBC, menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah merekrut orang yang merasa paling pintar di ruangan. Menurut Goldin, orang-orang yang terlalu pintar cenderung mempersulit pekerjaan dan merasa diri mereka lebih baik dari yang lain, sementara pekerjaan yang paling berhasil biasanya datang dari tim yang mampu bekerja dengan kolaboratif dan fokus pada solusi sederhana.
Kebutuhan akan 'orang bodoh' sebenarnya juga erat kaitannya dengan humanisme dalam memecahkan masalah. Saat terlalu banyak kecerdasan di satu ruangan, sering kali tim cenderung terjebak dalam teori dan analisis berlebih tanpa benar-benar mendekati masalah dari sudut pandang yang sederhana atau bahkan emosional. Dalam banyak kasus, masalah sebenarnya membutuhkan pendekatan yang lebih praktis, empatik, dan kurang teoritis.
Dengan adanya seseorang yang tidak terpaku pada teori rumit, tim bisa lebih mudah mencapai kesimpulan yang efisien dan bermanfaat bagi semua. Inilah sebabnya mengapa orang yang tidak terlalu pintar, dalam konteks tertentu, dapat menjadi elemen yang vital dalam menciptakan tim yang lebih seimbang dan inklusif. Orang pintar mungkin tahu semua jawaban, tetapi orang bodoh berani untuk bertanya pertanyaan yang tepat.
Jadi, bagaimana kita menciptakan keseimbangan yang ideal dalam tim atau organisasi? Jawabannya terletak pada variasi dan inklusi. Kita memang membutuhkan orang pintar yang memiliki pengetahuan mendalam, tetapi pada saat yang sama, kita juga memerlukan orang yang berpikir lebih sederhana, lebih pragmatis, dan tidak terjebak dalam ego intelektual. Keberadaan orang yang tidak terlalu cerdas dalam tim justru bisa mengajak individu yang lebih pintar untuk melihat masalah dari sudut pandang baru.