Di era yang dipenuhi oleh media sosial, gaya hidup mewah, dan keinginan untuk selalu terlihat sukses, kita sering kali dihadapkan pada konsep capaian yang tidak lebih dari ilusi. Di balik segala kemewahan dan pencapaian yang dipamerkan, terdapat kenyataan bahwa banyak dari itu hanyalah capaian palsu yang dikejar demi pencitraan belaka. Dalam masyarakat konsumerisme yang semakin mendominasi, kehidupan kita sering kali didikte oleh obsesi untuk terlihat lebih baik, lebih sukses, dan lebih mewah, meskipun itu semua mungkin tak lebih dari sebuah fatamorgana.
Sren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis dari Denmark, pernah menulis tentang bagaimana manusia terjebak dalam kehidupan yang dangkal, di mana mereka terus menerus mencari pengakuan dari orang lain. Kierkegaard menggambarkan bahwa orang-orang seperti ini hidup dalam fase estetis, fase yang didominasi oleh pencarian kesenangan, pengakuan, dan kepuasan dari hal-hal yang sifatnya eksternal. Dalam konteks modern, ini tercermin dalam obsesi kita terhadap hal-hal yang terlihat indah dari luar, tetapi sering kali hampa dari dalam.
Salah satu fenomena terbaru yang menggambarkan capaian palsu di era konsumerisme adalah tren koleksi barang-barang mahal yang harganya tidak masuk akal. Misalnya, boneka "Labubu" yang viral di Indonesia. Boneka ini, meskipun sederhana, dijual dengan harga yang sangat tinggi dan justru semakin diminati. Mengapa sesuatu yang sederhana seperti ini bisa menjadi barang prestisius? Ini tidak lain karena pencapaian di era konsumerisme sering kali didefinisikan oleh status sosial dan kemampuan seseorang untuk memiliki barang-barang mahal.
Mahalnya barang-barang seperti Labubu bukanlah sekadar soal kualitas atau fungsionalitas, melainkan lebih kepada citra yang tercipta saat seseorang memilikinya. Di sinilah letak masalah utama dari capaian palsu: keberhasilan seseorang diukur bukan dari apa yang sebenarnya mereka lakukan atau hasilkan, tetapi dari apa yang mereka beli dan tunjukkan kepada dunia. Tren seperti ini hanya memperkuat gagasan bahwa di era konsumerisme, pencapaian didefinisikan oleh konsumsi, bukan oleh nilai atau kontribusi nyata yang diberikan kepada masyarakat.
Selain tren koleksi barang mewah, fenomena lain yang menunjukkan bagaimana capaian palsu merajalela di era ini adalah "Strava Jockey" di Indonesia. Strava, sebuah aplikasi untuk pelari dan pesepeda yang memantau aktivitas olahraga, telah menjadi simbol status bagi sebagian orang. Alih-alih menggunakan aplikasi ini untuk memotivasi diri dalam menjaga kesehatan, beberapa pengguna justru membayar "jockey" untuk berlari atau bersepeda menggantikan mereka. Tujuannya? Agar mereka terlihat lebih aktif dan produktif di hadapan teman-teman dan pengikut mereka di media sosial.
Apa yang bisa kita pelajari dari fenomena ini? Ini adalah contoh nyata bagaimana manusia lebih memilih untuk memalsukan pencapaiannya daripada berusaha mencapainya dengan usaha nyata. Dalam kasus ini, kesehatan, yang seharusnya menjadi tujuan utama dari olahraga, tergantikan oleh pencitraan dan keinginan untuk diakui sebagai individu yang aktif dan sehat. Di era konsumerisme, kita semakin terjebak dalam obsesi untuk mencapai standar yang kita buat sendiri, bukan untuk kepentingan kesehatan atau kebahagiaan kita, tetapi demi pengakuan dari orang lain.
Capaian palsu yang dibentuk oleh obsesi terhadap status sosial dan pencitraan ini tidak terbatas pada barang mewah atau kegiatan olahraga. Pada dasarnya, gaya hidup di era konsumerisme telah dibentuk oleh prinsip bahwa kebahagiaan dapat dibeli. Namun, masalahnya adalah kebahagiaan semacam itu tidak bertahan lama. Kita selalu merasa ada yang kurang, ada yang belum dicapai, dan akhirnya kita terus terjebak dalam siklus konsumsi yang tiada akhir.
Banyak dari kita merasa harus memiliki barang-barang terbaru, dari gadget hingga pakaian, atau mengikuti tren terkini hanya untuk mempertahankan citra diri yang sesuai dengan ekspektasi sosial. Apa yang kita beli sering kali bukan karena kebutuhan, tetapi karena dorongan untuk merasa "cukup" di mata orang lain. Ini membawa kita pada kehidupan yang terjebak dalam pengejaran materialistis yang kosong, di mana kita terus menerus berlari mengejar hal-hal yang sebenarnya tidak memberikan makna atau kepuasan sejati.
Sebagai manusia, kita sering kali merasa bahwa pencapaian diukur oleh apa yang bisa kita tunjukkan kepada orang lain. Barang mahal, liburan mewah, bahkan pencapaian fisik yang dipamerkan di media sosial telah menjadi standar untuk menilai keberhasilan seseorang. Ini adalah perangkap konsumerisme yang menempatkan kita pada jalur yang sempit, di mana keberhasilan hanya dihitung dari hal-hal yang bisa dibeli atau dipamerkan, bukan dari hal-hal yang benar-benar bermakna atau berdampak.
Untuk menghindari terjebak dalam ilusi capaian palsu, kita perlu merenungkan kembali apa yang sebenarnya kita kejar dalam hidup ini. Filosofi Sren Kierkegaard mengajarkan bahwa kehidupan yang bermakna tidak datang dari hal-hal eksternal seperti kekayaan, status, atau pengakuan dari orang lain, tetapi dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan peran kita dalam kehidupan.
Kierkegaard berbicara tentang fase hidup yang lebih tinggi, yang dia sebut sebagai tahap etis dan religius. Dalam tahap ini, seseorang tidak lagi mengejar kepuasan dari hal-hal duniawi semata, tetapi dari tanggung jawab moral dan hubungan yang mendalam dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ini bisa berupa pelayanan kepada orang lain, komitmen terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi, atau pencarian spiritual yang memberikan makna yang lebih dalam bagi hidup.
Jika kita ingin keluar dari jeratan konsumerisme yang hanya memberikan kebahagiaan sementara, kita harus mulai mencari makna yang lebih dalam dalam tindakan dan pilihan kita. Ini bukan berarti kita harus meninggalkan semua hal material, tetapi kita harus lebih sadar tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup kita. Apakah kita benar-benar perlu membeli barang-barang mahal untuk merasa bahagia? Apakah pencapaian kita diukur dari apa yang bisa kita tunjukkan di media sosial, atau dari dampak positif yang bisa kita berikan kepada orang lain?
Di tengah arus konsumerisme yang semakin deras, sangat mudah bagi kita untuk terjebak dalam capaian palsu yang hanya bersifat permukaan. Kita hidup dalam dunia di mana pencitraan dan pengakuan sosial sering kali menjadi standar keberhasilan. Namun, penting bagi kita untuk mengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan uang atau dipamerkan di media sosial.
Capaian sejati datang dari usaha nyata, bukan dari pencitraan. Apakah itu dalam bentuk kerja keras yang menghasilkan sesuatu yang berdampak positif, atau dalam bentuk komitmen terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi, kita harus mencari makna yang lebih dalam dalam hidup kita. Hanya dengan begitu kita bisa menemukan kebahagiaan yang lebih tahan lama, yang tidak tergantung pada apa yang kita miliki, tetapi pada siapa kita sebagai individu.
Dalam dunia yang semakin terobsesi dengan estetika dan citra, penting untuk tetap memegang prinsip bahwa pencapaian sejati tidak datang dari apa yang terlihat, tetapi dari apa yang kita lakukan dan bagaimana kita memengaruhi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H